Nasional

“Zaman Edan” Ronggowarsito dalam Lensa Digital: Ketika Absurditas Masa Kini Kian Nyata

Konsep “Zaman Edan” yang digagas pujangga besar Raden Ngabehi Ronggowarsito dalam Serat Kalathida, tampaknya belum benar-benar usang. Jika dahulu kegelisahan itu terangkai dalam tembang, kini ia menjelma dalam wujud audiovisual di gawai, membangkitkan kembali perdebatan tentang akal sehat di tengah hiruk-pikuk era digital.

Di masa kini, kebenaran seolah dapat dibeli dengan tumpukan uang, menggeser peran nurani. Kewarasan sering kali kalah telak dalam perdebatan tanpa arah yang jelas. Segalanya bergerak begitu cepat, namun tujuan terasa kabur. Di tengah kecepatan ini, suara-suara dari masa lampau, khususnya gema Ronggowarsito, kembali berdengung mengingatkan kita pada “Zaman Edan” yang ia tulis.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Gema Ronggowarsito dan Serat Kalathida

Jauh sebelum frasa “zaman edan” menjadi populer sebagai meme atau kutipan di media sosial, tanah Nusantara telah melahirkan para penyair yang kegelisahannya relevan dengan generasi masa kini. Dari Chairil Anwar dengan “Aku”-nya yang menggugat takdir, hingga Sutan Takdir Alisjahbana yang penuh harap dengan karyanya “Seindah Ini”. Namun, sebelum mereka, Ronggowarsito telah merangkai kegelisahannya dengan gaya Jawa Klasik yang mendalam namun tajam. Ia menulis tentang “Zaman Edan” bahkan sebelum istilah seperti pemanasan global dan kecerdasan buatan (AI) dikenal. Semua kegelisahan ini seolah berirama dalam bahasa yang sama: dilema yang melampaui zaman dan tak pernah benar-benar usang.

Menurut Sari dan Marsudi (2024), Serat Kalathida merupakan karya Raden Ngabehi Ronggowarsito yang berisi pelajaran hidup atau falsafah. Kata Kala berarti masa atau zaman, sementara thida berarti keraguan. Namun, sebagian besar masyarakat lebih akrab menyebut “Kalathida” sebagai zaman edan. Istilah ini, ironisnya, masih sangat cocok untuk mencerminkan kondisi hari ini. Kata edan sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti gila. Jika pada abad ke-19 Ronggowarsito sudah resah dengan dunia yang karut-marut, dapat dibayangkan betapa kacaunya kondisi yang kita hadapi di era digital ini, di mana rasa edan justru kian akut.

Sejak fase kolonial hingga sekarang, jati diri bangsa perlahan-lahan menguap. Dahulu, semangat nasionalisme mendorong masyarakat untuk berkorban hingga titik darah penghabisan. Kini, jangankan berkorban, membaca berita setiap pagi saja sudah cukup membuat emosi memuncak. Karakter nasionalisme yang dahulu kokoh, kini mudah goyah diterpa arus dari luar. Di Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, mudah terombang-ambing oleh doktrin baru yang hadir silih berganti. Hal ini menimbulkan kebingungan: apakah ini benar-benar prinsip kita, atau hanya sekadar ikut tren? Tidak hanya rakyat biasa, para elit politik hingga akademisi pun tak luput dari godaan paham-paham nyeleneh yang menyebabkan nilai humanisme kian merosot. Ronggowarsito mengingatkan, di tengah zaman edan, yang terpenting adalah memiliki pedoman kuat. Modernisasi boleh diikuti, namun jangan sampai kehilangan jati diri. Intinya: maju boleh, tapi jangan ikutan edan.

Eling lan Waspada: Kompas di Tengah Absurditas

Dari Serat Kalathida, Ronggowarsito mencerminkan kegelisahan yang menimpa orang-orang dengan keraguan dan ketidakpastian. Beliau tidak hanya menunjukkan problematika, tetapi juga memberikan peringatan dan solusi, yakni eling dan waspada.

Kata eling berarti ingat, yang maksudnya adalah sebagai hamba yang lemah, manusia wajib selalu mengingat Tuhan. Sedangkan waspada berarti senantiasa berhati-hati dalam keadaan apa pun. Orang-orang yang berbudi pekerti luhur, cepat atau lambat, akan tersingkirkan pada saat kondisi kacau-balau. Mengapa demikian? Karena hal itu tidak sejalan dengan keinginan syahwat keduniawian yang dikehendaki oleh segolongan manusia tertentu, yang sering dikaitkan dengan kepentingan penjajah, baik eksternal maupun internal. Namun, sejatinya kebenaran merupakan asas moral yang berlaku sepanjang hayat dan suatu hari nanti akan kembali berjaya.

Zaman Edan yang Berulang di Era Society 5.0

Di zaman yang serba instan ini, jurang antara orang yang berkecukupan dengan mereka yang berjuang setiap hari untuk mengisi perutnya kian melebar. Mereka yang memiliki kuasa bebas bergerak ke mana saja, sementara mereka yang tak punya apa-apa harus terpinggirkan agar tetap bisa bertahan di tanah yang licin. Pekerjaan, posisi, bahkan peluang, kini lebih sering ditentukan oleh seberapa besar “harga masuk” yang sanggup dibayar, bukan lagi oleh keterampilan. Yang berkuasa mampu menembus pintu, yang lemah menanti di ambang, berharap masih ada celah untuk masuk di antrean paling belakang.

Fenomena yang kita saksikan hari ini merupakan konsekuensi logis dari sistem kapitalisme dan liberalisme. Moral serta potensi diri diabaikan begitu saja. Kondisi yang dirasakan oleh R. Ng. Ronggowarsito telah kembali melanda di era society 5.0. Kekayaan orang-orang yang berkedudukan tinggi bertebaran di setiap sudut bumi, menjulang bersama takhta yang diagungkan setinggi langit. Di sisi lain, masyarakat dengan penghasilan minim hanya dapat menahan lapar dengan sebungkus nasi dan air isi ulang.

Jiwa-jiwa yang jernih kini sering dianggap tidak sefrekuensi. Ada yang menyebut mereka terlalu polos, atau terlalu lurus. Pada akhirnya, mereka dijauhi perlahan-lahan. Sebaliknya, jiwa-jiwa dengan kecenderungan psikopat justru dielu-elukan, dijadikan panutan, bahkan role model. Dari Serat Kalathida, kita diingatkan untuk menengok ulang, “sebenarnya buat apa manusia hidup?” Jawabannya sederhana namun berat: menjadi pemelihara semesta. Agar tidak terlalu berat, hendaknya kita berpegang teguh pada norma-norma agama dan kemanusiaan. Dua kunci yang sering dibahas, tetapi jarang sungguh-sungguh diamalkan. Di zaman edan yang terus berulang, ajaran lama itu bukan sekadar petuah, melainkan perlawanan terakhir agar manusia, sesibuk, sejenius, atau seburuk apa pun hidupnya, tetap disebut sebagai manusia.

Sejauh ini telah terbukti bahwa zaman edan belum pernah benar-benar tamat. Di setiap babaknya terselip realita getir yang berganti kostum. Dulu hadir melalui tembang, sekarang dalam layar gawai, ia menyamar menjadi wujud sorak audiovisual atau film yang membangkitkan akal sehat. Ronggowarsito sudah mengingatkan lewat eling lan waspada sejak lama. Dua kata yang kedengarannya sepele, namun berfungsi sebagai kompas di tengah gempuran dunia yang terbalik ini. Tugas kita bukan hanya menjaga zaman untuk tetap waras, melainkan juga menjaga hati agar tertata. Karena di dunia yang semakin absurd ini, terkadang bertahan untuk tetap waras justru menjadi bentuk kegilaan paling mulia.

Mureks