Uni Eropa (UE) secara tegas memperingatkan Israel terkait undang-undang pendaftaran organisasi bantuan asing yang baru. UE menyatakan bahwa aturan tersebut tidak dapat diterapkan dalam bentuknya saat ini, menyusul keputusan Israel melarang sejumlah organisasi bantuan asing beroperasi di Gaza karena menolak menyerahkan rincian data karyawan Palestina mereka.
Kepala Kemanusiaan UE, Hadja Lahbib, menegaskan sikap ini setelah Israel mulai mencabut izin operasional organisasi yang tidak patuh. “Hukum humaniter internasional (IHL) tidak memberi ruang untuk keraguan: bantuan harus sampai kepada mereka yang membutuhkan,” tulis Lahbib melalui platform X pada Rabu (31/12/2025).
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Israel berdalih, undang-undang baru ini bertujuan untuk mencegah “aktor-aktor yang bermusuhan atau pendukung terorisme” beroperasi di wilayah Palestina. Pemerintah Israel menyatakan peraturan tersebut dirancang untuk menghalangi kelompok militan Hamas dan kelompok bersenjata lainnya menyusup ke organisasi bantuan atau mengalihkan pasokan. Klaim ini dibantah oleh Hamas.
Organisasi bantuan nonpemerintah (LSM) diberi tenggat waktu hingga 31 Desember 2025 untuk mendaftar di bawah kerangka kerja baru ini. Israel mengumumkan pada Selasa (30/12/2025) bahwa organisasi yang menolak menyerahkan daftar karyawan Palestina mereka akan dicabut izinnya mulai 1 Januari 2026, dengan kewajiban menghentikan semua kegiatan pada 1 Maret 2026.
Lebih dari 30 organisasi, atau sekitar 15% dari total yang beroperasi di Gaza, belum memenuhi aturan baru tersebut. Beberapa organisasi yang terdampak termasuk Doctors Without Borders (juga dikenal sebagai MSF) dan kelompok bantuan CARE.
Kementerian terkait di Israel menuduh dua karyawan MSF memiliki hubungan dengan kelompok militan, sebuah tuduhan yang dibantah keras oleh MSF.
Sejumlah LSM mengkhawatirkan aturan baru ini akan sangat memengaruhi distribusi bantuan di Gaza, mengingat jumlah bantuan yang masuk saat ini pun masih belum memadai. Kesepakatan gencatan senjata yang dimulai 10 Oktober 2025 seharusnya mengizinkan masuknya 600 truk per hari, namun kenyataannya hanya sekitar 100 hingga 300 truk yang membawa bantuan kemanusiaan, menurut data lembaga nonpemerintah dan Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Lembaga lain yang juga terkena dampak larangan ini meliputi Norwegian Refugee Council, Komite Penyelamatan Internasional, serta divisi dari badan amal besar seperti Oxfam dan Caritas.
Organisasi-organisasi penyalur bantuan mengkritik aturan tersebut sebagai tindakan sewenang-wenang. Mereka memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat sangat membahayakan kehidupan warga sipil yang bergantung pada bantuan.
MSF, yang menyediakan sekitar 20% pelayanan medis di rumah sakit dan membantu sepertiga kelahiran bayi di Gaza, menyatakan bahwa persyaratan ini dapat menyebabkan ratusan ribu orang kehilangan akses ke perawatan medis penyelamat jiwa yang sangat dibutuhkan.
Lembaga amal tersebut menambahkan bahwa mereka “terus terlibat dan berdiskusi dengan otoritas Israel,” dan bahwa mereka “belum menerima keputusan tentang pendaftaran ulang.”
Beberapa kelompok bantuan menjelaskan alasan penolakan mereka untuk menyerahkan daftar staf Palestina. Mereka khawatir staf akan menjadi sasaran Israel, serta untuk mematuhi undang-undang perlindungan data di Eropa.
“Ini berasal dari perspektif hukum dan keamanan. Di Gaza, kami melihat ratusan pekerja bantuan terbunuh,” ujar Shaina Low, penasihat komunikasi untuk Norwegian Refugee Council.
Bushra Khalidi, pemimpin kebijakan Oxfam di Yerusalem, menyebut persyaratan tersebut sama dengan “mempolitisasi bantuan.”
Berbicara kepada DW, Khalidi memperingatkan bahwa mematuhi persyaratan Israel berarti melanggar kewajiban untuk melindungi staf. “Pada dasarnya, kami tidak dapat memenuhi persyaratan yang memaksa kami menyerahkan data pribadi sensitif staf Palestina dan keluarga mereka, atau kami tidak dapat menerima kondisi politik dan ideologis yang tidak terkait dengan pekerjaan kemanusiaan kami yang dipaksakan oleh kriteria ini,” kata Khalidi.
“Terutama selama dua tahun terakhir, kami menyaksikan jumlah pekerja kemanusiaan yang tewas di Gaza mencapai rekor tertinggi, lebih dari 500 orang,” tambahnya.






