Internasional

Purbaya Yudhi Sadewa Pastikan Iuran BPJS Kesehatan Tak Berubah di 2026, Tunggu Ekonomi Membaik

Pemerintah secara resmi mengonfirmasi bahwa tidak akan ada penyesuaian tarif iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan untuk tahun anggaran 2026. Pernyataan ini disampaikan langsung oleh Menteri Keuangan, Purbaya Yudhi Sadewa, pada Minggu, 28 Desember 2025.

Purbaya menegaskan komitmen pemerintah untuk mempertahankan besaran iuran saat ini. Kebijakan ini akan berlaku hingga tercapai akselerasi pertumbuhan ekonomi nasional yang lebih signifikan.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa tarif iuran tidak akan dievaluasi sebelum pertumbuhan ekonomi mampu melampaui level stagnasi 5% yang telah berlangsung selama satu dekade terakhir. Jika perekonomian mampu menembus level di atas 6%, pemerintah baru akan mempertimbangkan penyesuaian tarif iuran BPJS Kesehatan.

Pertimbangan ini termasuk kemungkinan jika pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat itu terjadi pada tahun 2026. Purbaya menekankan, “Dalam pengertian tumbuhnya ada 6% lebih dan mereka sudah mulai dapat kerja lebih mudah, baru kita pikir menaikkan beban masyarakat. Kalau sekarang belum. Tahun depan kalau ekonomi tumbuh di atas 6,5% gimana?”

Ia menambahkan, bila pertumbuhan tahun depan mampu menembus level di atas 6%, masyarakat dinilai memiliki kapasitas untuk menanggung bersama pemerintah besaran iuran BPJS Kesehatan yang mengalami penyesuaian. Dengan demikian, besaran iuran saat ini belum ada perubahan hingga ada kabar lebih lanjut dari pemerintah.

Aturan Iuran dan Denda BPJS Kesehatan Saat Ini

Selama masa transisi, iuran akan berlaku seperti sebelumnya, mengacu pada Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2022. Aturan ini juga memuat ketentuan pembayaran paling lambat tanggal 10 setiap bulannya.

Penting untuk dicatat, tidak ada denda telat membayar mulai 1 Juli 2026. Denda hanya akan dikenakan jika dalam 45 hari sejak status kepesertaan diaktifkan kembali, peserta mendapatkan layanan kesehatan rawat inap.

Dalam aturan tersebut, skema iuran dibagi dalam beberapa aspek. Berikut rinciannya:

  1. Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan: Iurannya dibayarkan langsung oleh Pemerintah.
  2. Peserta Pekerja Penerima Upah (PPU) pada Lembaga Pemerintahan: Meliputi Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non pegawai negeri. Iuran sebesar 5% dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4% dibayar oleh pemberi kerja dan 1% dibayar oleh peserta.
  3. Peserta PPU di BUMN, BUMD, dan Swasta: Iuran sebesar 5% dari Gaji atau Upah per bulan, dengan ketentuan 4% dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% dibayar oleh Peserta.
  4. Iuran Keluarga Tambahan PPU: Terdiri dari anak keempat dan seterusnya, ayah, ibu, dan mertua. Besaran iuran sebesar 1% dari gaji atau upah per orang per bulan, dibayar oleh pekerja penerima upah.
  5. Iuran Kerabat Lain dari PPU, Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU), dan Peserta Bukan Pekerja:
    • Sebesar Rp 42.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.
      • Khusus untuk kelas III, bulan Juli – Desember 2020, peserta membayar iuran sebesar Rp 25.500. Sisanya sebesar Rp 16.500 dibayar oleh pemerintah sebagai bantuan iuran.
      • Per 1 Januari 2021, iuran peserta kelas III yaitu sebesar Rp 35.000, sementara pemerintah tetap memberikan bantuan iuran sebesar Rp 7.000.
    • Sebesar Rp 100.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II.
    • Sebesar Rp 150.000 per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.
  6. Iuran Jaminan Kesehatan bagi Veteran, Perintis Kemerdekaan, serta janda, duda, atau anak yatim piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan: Ditetapkan sebesar 5% dari 45% gaji pokok Pegawai Negeri Sipil golongan ruang III/a dengan masa kerja 14 tahun per bulan, dibayar oleh Pemerintah.

Integrasi BPJS Kesehatan dengan Asuransi Swasta dan Konsep KRIS

Selain sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS), BPJS Kesehatan juga akan dikombinasikan dengan asuransi swasta. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menjelaskan bahwa skema KRIS ini akan lebih mencerminkan prinsip gotong royong dalam sistem jaminan kesehatan nasional.

Budi mengkritik konsep sebelumnya, “Kalau sekarang kan konsep sosial gotong royong nya banci, karena yang kaya bayar lebih dia harus dapat lebih bagus, itu bukan asuransi sosial dong.”

Menurut Budi, dengan skema KRIS, antara yang miskin dengan kaya sama-sama mendapatkan layanan dengan ruang rawat inap setara, meskipun skema tarif iurannya berbeda. “Asuransi sosial itu, harusnya yang kaya itu bayar lebih untuk tanggung yang miskin, jangan dia bayar lebih minta lebih, nah konsep itu menurut saya harus diluruskan dengan KRIS,” tegas Budi.

Dengan skema tersebut, orang yang kaya akan ditetapkan limit plafon layanan kesehatannya di BPJS Kesehatan. Ketika mereka ingin mendapatkan layanan yang lebih, seperti ruang rawat inap VIP, harus menggunakan skema campuran asuransi dengan swasta yang telah terintegrasi dengan layanan asuransi BPJS Kesehatan.

Mekanisme ini, kata Budi, terlaksana dengan combine benefit antara asuransi kesehatan swasta dengan BPJS Kesehatan, khusus untuk orang-orang kaya. Skemanya adalah si orang kaya membayar asuransi hanya ke pihak asuransi swasta, dan sisa porsinya dibayarkan pihak asuransi swasta ke BPJS Kesehatan.

“Kita sudah bikin mekanismenya dengan OJK dan BPJS adalah Budi Sadikin misalnya bayar BPJS, bayar Jasindo, atau karena Jasindo lebih besar, setiap orang yang ambil asuransi swasta dia harus ada porsi yang dibayarkan ke BPJS, jadi si orang ambil asuransi gak usah pusing dan BPJS gak pusing nagih,” pungkasnya.

Mureks