Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa akan menerapkan kebijakan pajak setahun penuh di bawah kendalinya pada tahun pajak 2026. Ini merupakan tahun pertama Purbaya memegang kendali penuh setelah dilantik Presiden Prabowo pada September 2025.
Dalam berbagai kesempatan, Purbaya telah mengumumkan sejumlah kebijakan pajak untuk 2026. Ia memastikan tidak akan ada kebijakan pajak baru seperti kenaikan tarif atau perluasan pungutan objek pajak tertentu, sejalan dengan penegasan Menteri Keuangan sebelumnya, Sri Mulyani Indrawati.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Tidak Ada Kenaikan Tarif Pajak, Kecuali Ekonomi Tumbuh Pesat
Purbaya menegaskan bahwa tidak ada kenaikan tarif pajak maupun pungutan pajak baru, meskipun target penerimaan pajak 2026 dipatok sebesar Rp 2.357,7 triliun, naik 7,69% dari target tahun ini Rp 2.189,3 triliun.
“Enggak ada gunanya saya naikkan pajak saat itu, makin kecil terus, malah turun ke bawah,” kata Purbaya dalam acara Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Menara Bank Mega, Jakarta, Rabu (31/12/2025).
Namun, ia menekankan bahwa pemerintah baru bisa mempertimbangkan menaikkan tarif pajak di masa depan jika pertumbuhan ekonomi mampu lebih cepat, di atas 5%, dan membuat daya beli masyarakat semakin tinggi. Purbaya mencontohkan, salah satu pertimbangan untuk menaikkan tarif pajak adalah bila ekonomi Indonesia sudah mampu tumbuh di level 6%.
“Jadi Anda enggak usah takut, saya akan naikkan pajak ketika tumbuh di atas 6%. Anda juga akan happy juga bayar pajaknya,” ucap Purbaya.
Tarif PPN Tidak Naik, Tapi Ada Potensi Penyesuaian
Purbaya menegaskan pihaknya belum memiliki rencana melakukan penyesuaian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan. Kebijakan kenaikan tarif PPN sempat mencuat pada akhir 2024, meski realisasinya pada awal 2025 hanya berlaku kepada barang dan jasa mewah menjadi 12%.
“Belum ada sampai sekarang. Kita lihat bagaimana ekonomi kita bisa tumbuh lebih cepat atau enggak,” kata Purbaya, menjawab pertanyaan wartawan di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin (15/12/2025).
Ia menjelaskan, penyesuaian PPN itu baru akan dilakukan apabila pertumbuhan ekonomi nasional mampu tumbuh 6%. Dengan demikian, pemerintah memiliki ruang untuk mengelola kebijakan perpajakan termasuk PPN.
“Kalau di atas 6% harusnya sih ada ruang untuk mengolah kebijakan PPN, bisa naik, bisa turun, jadi nggak nebak ya,” kata Purbaya. Ia menegaskan bahwa sampai saat ini belum ada keputusan terkait menaikkan PPN maupun menurunkannya, karena pemerintah masih melihat kondisi ekonomi secara menyeluruh. “Kalau ekonominya lebih cepat, ruangnya akan terbuka,” tambahnya.
Andalkan Coretax untuk Peningkatan Kepatuhan
Untuk mengejar target setoran pajak 2026 yang lebih tinggi, Purbaya mengandalkan perbaikan pelayanan administrasi pajak. Tujuannya adalah agar masyarakat semakin mudah dan patuh membayar kewajibannya kepada negara. Salah satu sistem yang menjadi andalan adalah Coretax.
Purbaya meyakini keandalan sistem inti administrasi pajak yang telah diterapkan sejak awal 2025 itu akan mempermudah otoritas pajak dalam memberikan pelayanan kepada wajib pajak, termasuk dari sisi pengawasan hingga penagihan, karena pengelolaannya terpusat pada satu sistem.
“Jadi kita perbaiki dulu sistem digital perpajakan kita. Saya harap tahun depan kita akan lebih efisien dalam mengumpulkan pajak dengan target yang lebih tinggi lagi,” tuturnya.
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto juga telah menekankan bahwa pada 2026, seluruh wajib pajak diharuskan melaporkan surat pemberitahuan (SPT) tahunan pajak hanya melalui sistem Coretax. “Tahun depan laporan SPT Tahunan sudah melalui Coretax. Jadi Coretax sudah siap untuk menerima SPT Tahunan orang pribadi dan badan tahun 2025,” ujar Bimo dalam keterangan resminya, Rabu (12/11/2025).
Penerapan Global Minimum Tax (GMT) Penuh di 2026
Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto mengungkapkan, implementasi kebijakan Pajak Minimum Global (Global Minimum Tax/GMT) di Indonesia akan mulai berjalan penuh pada 2026. Sejak tahun ini, pemerintah telah mengatur penerapan GMT di Indonesia melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 136 Tahun 2024.
Namun, tata cara detail administrasi penerapan pajak minimum globalnya belum ada dan baru akan diselesaikan oleh Ditjen Pajak pada tahun ini. Skema GMT yang berlaku di Indonesia adalah pemberlakuan top up tax bagi perusahaan multinasional (PMN) yang memiliki peredaran bruto konsolidasi minimum 750 juta euro dan tidak membayar pajak di negara yurisdiksi mereka beroperasi dengan tarif minimum 15%.
“Untuk tahun pajak 2025, pembayaran top up tax dibayar paling lambat sesuai ketentuan pada 31 Desember 2026,” kata Bimo saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Jakarta, Senin (24/11/2025).
Perhitungan top up tax di Indonesia memanfaatkan mekanisme income inclusion rules (IIR), undertaxed payment rules (UTPR), dan qualified domestic minimum top up tax (QDMTT). IIR mengharuskan entitas induk utama dari suatu grup PMN membayar pajak tambahan atas entitas konstituennya yang dikenakan pajak efektif kurang dari 15%.
QDMTT memastikan pajak minimum paling tidak dibayarkan di negara asalnya. Sementara itu, UTPR berlaku jika IIR tidak diterapkan oleh negara domisili entitas induk utama/entitas induk antara dalam ketentuan domestiknya, dengan pajak tambahan yang dialokasikan kepada semua negara yurisdiksi UTPR berdasarkan formula tertentu.
Bimo menjelaskan, pada 2025 mekanisme perhitungan IIR dan QDMTT sudah mulai berlaku, diiringi sosialisasi kepada wajib pajak dan fiskus, persiapan infrastruktur IT, penyusunan Peraturan Dirjen Pajak tentang Tata Cara Administrasi GMT, serta persiapan exchange of information (EOI) antarnegara. Sedangkan pada 2026, ia memastikan UTPR akan mulai berlaku, beriringan dengan dimulainya implementasi pembayaran pajak minimum global untuk tahun pajak 2025, serta sosialisasi, persiapan IT, dan EOI.
Perluasan Data Keuangan Wajib Pajak: E-wallet dan Kripto
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan tengah menggodok revisi Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terkait Automatic Exchange of Information (AEOI). Revisi ini bertujuan memperluas cakupan perolehan data rekening keuangan untuk kepentingan perpajakan, termasuk e-wallet dan transaksi kripto.
Rekening keuangan yang akan ditambahkan melalui PMK baru itu di antaranya terkait Produk Uang Elektronik Tertentu (Specified Electronic Money Products) dan Mata Uang Digital Bank Sentral (Central Bank Digital Currencies). Hal ini terungkap dalam pengumuman nomor PENG-3/PJ/2025 yang ditandatangani Direktur Jenderal Pajak Bimo Wijayanto sejak 22 Oktober 2025.
Bimo menjelaskan, perluasan AEOI akan menyesuaikan standar praktik internasional, dengan target implementasi revisi aturan tersebut pada 2026 mendatang. “Itu 2026 masih. Kan itu kan ada praktik-praktik yang setara di negara-negara partner ya,” ujarnya.
Ia menambahkan, perluasan cakupan perolehan data rekening ini mempertimbangkan amandemen terhadap implementasi perjanjian internasional oleh OECD terkait Convention on Mutual Administrative Assistance on Tax Matters dan Multilateral Competent Authority Agreement on Automatic Exchange of Information Common Reporting Standard Multilateral Competent Authority Agreement 2015.
“Kan OECD sudah mulai masuk ke digital currency, kemudian masuk ke kripto. kita jadi harus adjust itu. Itu berlaku secara internasional,” ujarnya. Selain penambahan cakupan rekening keuangan, RPMK terbaru ini nantinya juga akan berisi pengaturan untuk mencegah duplikasi pelaporan AEOI CRS dan Crypto-Asset Reporting Framework (CARF). Lembaga jasa keuangan juga akan diminta melakukan penyempurnaan aspek pelaporan, meliputi penguatan prosedur identifikasi rekening keuangan, penambahan jenis rekening keuangan yang dikecualikan, hingga penambahan informasi yang dilaporkan.
Pajak Marketplace Ditunda Hingga Ekonomi Tumbuh 6%
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Bimo Wijayanto memastikan, pemberlakuan pungutan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 pedagang online di e-commerce sebesar 0,5% akan ditunda sesuai arahan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa.
Bimo mengatakan, penerapan pungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% bagi para merchant oleh penyedia layanan e-commerce sebagaimana telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 memang sebelumnya diminta Purbaya untuk ditunda sampai Februari 2026.
Namun, dalam arahan terbaru, penundaan pemberlakuannya diputuskan sampai pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa benar-benar mampu menembus level 6%, dari yang selama ini masih tumbuh di kisaran 5% secara tahunan (year on year/yoy).
“Itu yang memang ditunda sampai nanti sesuai dengan arahan pak menteri sampai katakan lah pertumbuhan ekonomi lebih optimis ke angka 6%,” kata Bimo saat media briefing di Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Jakarta, Senin (20/10/2025). “Terakhir itu memang arahannya ke kami itu di Februari tapi kemudian ada arahan dari pak menteri untuk menunggu sampai pertumbuhan 6%,” tegasnya.
Insentif PPh Pasal 21 DTP Diperpanjang Hingga 2026
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa resmi memberikan insentif pajak penghasilan pasal 21 ditanggung pemerintah (PPh DTP) untuk sejumlah karyawan sektor usaha tertentu sampai dengan 2026. Ketentuan ini ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 72 Tahun 2025 yang mengubah PMK Nomor 10 Tahun 2025, berlaku sejak 28 Oktober 2025.
Pasal 3 PMK 72/2025 menyebutkan bahwa kebijakan pemberian insentif PPh Pasal 21 DTP bagi pekerja di sektor pariwisata ini menjadi bagian dari perluasan insentif PPh Pasal 21 DTP yang sebelumnya diberikan kepada pekerja di sektor usaha alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, kulit dan barang dari kulit, serta pariwisata. Insentif ini juga mencakup para pekerja yang kode klasifikasi lapangan usahanya masih menjadi bagian dari deretan sektor-sektor penerima insentif yang tercantum pada basis data administrasi perpajakan DJP.
Insentif pajak yang diberikan bagi para pegawai dengan gaji sampai dengan Rp 10 juta itu diberikan dalam jangka waktu yang beragam. Pekerja di sektor alas kaki, tekstil dan pakaian jadi, furnitur, serta kulit dan barang dari kulit berlaku untuk masa pajak Januari 2025-Desember 2025. Sedangkan untuk para pekerja tertentu di bidang pariwisata, jangka waktu insentif PPh Pasal 21 DTP diberikan untuk masa pajak Oktober 2025 sampai dengan Desember 2025.
Dalam Pasal 5 PMK itu juga disebutkan, PPh Pasal 21 DTP merupakan insentif yang harus dibayarkan secara tunai oleh Pemberi Kerja pada saat pembayaran penghasilan kepada Pegawai tertentu, termasuk dalam hal Pemberi Kerja memberikan tunjangan PPh Pasal 21 atau menanggung PPh Pasal 21 kepada Pegawai.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, insentif ini diberikan bagi para pekerja bergaji sampai dengan Rp 10 juta di sektor padat karya dan pariwisata guna memastikan kepastian berusahanya terus terjaga di tengah tekanan bisnis. “Akan dilanjutkan tahun depan, jadi ada kepastian sampai tahun depan,” kata Airlangga seusai rapat terbatas paket stimulus ekonomi dengan Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Untuk para pekerja di sektor padat karya, seperti tekstil, alas kaki, pakaian jadi, kulit, barang dari kulit, dan furnitur yang bergaji sampai dengan Rp 10 juta, telah menerima insentif PPh DTP 100% sejak terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10 Tahun 2025 pada 4 Februari 2025. Pada 2026, mereka akan mendapatkan kembali insentif pajak tersebut dengan target penerima mencapai 1,7 juta pekerja dan alokasi anggaran Rp 800 miliar.
“Yang gajinya sampai Rp10 juta itu ditanggung pemerintah, ini targetnya adalah 1,7 juta pekerja dan alokasi tahun ini sudah disediakan Rp800 miliar. Jadi ini pun akan dilanjutkan tahun depan,” tegas Airlangga.
Sementara itu, bagi para pekerja di sektor terkait pariwisata, seperti hotel, restoran, dan alas kaki atau horeka, mulai menerima insentif itu pada kuartal IV-2025. Targetnya terhadap 552 ribu pekerja dengan anggaran Rp 480 miliar pada 2026 dan Rp 120 miliar pada 2025 karena 100% PPh 21 DTP-nya selama 3 bulan.
“Jadi ada kepastian sampai tahun depan PPh pekerja sektor horeka ini masih ditanggung pemerintah dengan estimasi anggarannya Rp 480 miliar dengan gaji di bawah Rp10 juta,” tutur Airlangga. Dengan begitu, pada tahun depan, setidaknya akan terdapat 2,22 juta pekerja di sektor padat karya dan yang terkait pariwisata akan mendapatkan insentif pajak dengan total anggaran mencapai Rp 1,28 triliun. “Dan benefitnya mereka bisa memanfaatkan angka Rp 60 ribu sampai Rp 400 ribu tambahan ke orang per orang, sehingga kita berharap bahwa ini daya beli bisa terjaga juga,” ungkap Airlangga.
Insentif PPN DTP untuk Pembelian Rumah Diperpanjang Hingga 2027
Insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan rumah tapak dan satuan rumah susun yang Ditanggung Pemerintah (DTP) sebesar 100% akan diperpanjang pada 2026 hingga 31 Desember 2027. Hal ini diungkapkan oleh Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa dalam konferensi pers APBN KITA Edisi Oktober 2025, Selasa (14/10/2025).
“Menjaga daya beli dan multiplier yang besar PPN DTP yang besar diberikan hingga 31 Desember 2026 diperpanjang 31 Desember 2027 yang akan dinikmati 40 ribu unit per tahun,” kata Purbaya. Pemerintah sebelumnya sudah menetapkan perpanjangan PPN DTP sebesar 100% hingga 31 Desember 2026, namun keputusan ini direvisi setelah mendengar masukan dari pengembang properti. Perpanjangan ini juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Direktur Jenderal Direktorat Jenderal Strategi Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu menjelaskan, perpanjangan PPN DTP hingga 2027 ini akan ditetapkan dalam peraturan menteri keuangan (PMK). “Akan kita buatkan PMK bahwa diperpanjang lagi sampai 31 Desember 2027 sehingga pengembang bisa rencanakan pembangunan lebih besar dan cepat,” kata Febrio.
Tax Holiday Gaya Baru Menyesuaikan Global Minimum Tax
Kementerian Keuangan di bawah kepemimpinan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan, insentif tax holiday atau pembebasan pajak berlanjut pada 2026. “Berlanjut,” kata Direktur Jenderal Stabilitas Ekonomi dan Fiskal Kementerian Keuangan Febrio Nathan Kacaribu di Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (23/11/2025).
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 130 Tahun 2020, pemberian insentif tax holiday akan berakhir pada 31 Desember 2025. Oleh sebab itu, Febrio menegaskan, guna memperpanjang periode waktu pemberian insentif, Kementerian Keuangan kini tengah menyiapkan peraturan menteri keuangan (PMK) baru. “Jadi PMK tax holiday itu sedang kita proses untuk dilanjutkan 2026,” tegas Febrio.
Meski begitu, Febrio menekankan, skema insentif tax holiday pada 2026 akan menyesuaikan penerapan global minimum tax (GMT) yang menetapkan tarif minimal pajak penghasilan 15%. “Karena harus sesuai dengan perjanjian yang ditandatangani dengan OECD itu bahwa minimum pajaknya adalah 15%,” ucap Febrio.
“Kalau kita berikan tax holiday full, itu artinya dia akan bayar pajak 15% nya ke negara asalnya dia. Itu sama saja kita mensubsidi APBN negara lain,” tegasnya. Febrio mengatakan, konsep tax holiday yang baru ialah pembebasan tarif pajak bagi investor tidak lagi mencapai 100%, atau seluruh tarif PPh Badan 22% yang penuh dihilangkan. Melainkan sesuai kesepakatan GMT 15%, sedangkan sisanya diberikan dalam bentuk insentif pengganti yang masih dirumuskan.
“Jadi berarti 22% dikurang 15% berarti kan 7%. Nah negara-negara lain, ini kita pelajari Vietnam, India dan sebagainya itu memberikan kebijakan substitusi pengganti dari tax holiday tersebut,” ungkapnya.






