Poligami, praktik perkawinan seorang pria dengan lebih dari satu wanita, kerap menjadi topik perdebatan hangat di tengah masyarakat Indonesia. Konflik rumah tangga seringkali muncul, terutama ketika praktik ini dilakukan tanpa izin atau sepengetahuan istri pertama. Lantas, bagaimana pandangan Islam dan hukum negara di Indonesia mengenai poligami tanpa persetujuan istri pertama?
Pengertian Poligami dalam Islam
Secara etimologi, poligami berasal dari bahasa Yunani, yakni Apolus (banyak) dan Gamos (pasangan), yang secara terminologis merujuk pada kondisi seseorang yang memiliki dua atau lebih pasangan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikannya sebagai sistem perkawinan yang mengizinkan seseorang mempunyai istri atau suami lebih dari satu.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Dalam konteks fikih Islam, poligami adalah seorang laki-laki yang memiliki lebih dari satu istri dalam satu waktu, dengan batas maksimal empat istri. Islam memang memperbolehkan praktik ini, namun Allah SWT memberikan batasan jumlah serta beberapa persyaratan ketat yang harus dipenuhi.
Seorang suami wajib berlaku adil kepada semua istrinya, baik secara harfiah maupun lahiriah. Apabila tidak mampu atau dikhawatirkan tidak mampu berlaku adil, maka cukup memiliki satu istri saja. Kebolehan poligami ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT:
فَانكِحُوا مَا طَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً
Artinya: “…Maka nikahilah perempuan-perempuan yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) satu saja.” (QS An-Nisa’: 3)
Hukum Dasar Poligami dalam Islam
Berdasarkan ayat tersebut, para ulama sepakat bahwa hukum poligami adalah mubah (boleh), bukan kewajiban atau sunnah yang dianjurkan untuk semua orang. Imam Al-Qurthubi bahkan menegaskan bahwa poligami merupakan rukhshah (keringanan), bukan perintah mutlak.
Sularso dalam bukunya Hukum Perkawinan Bawah Tangan di Indonesia menjelaskan, “Islam membolehkan poligami sampai empat orang istri dengan syarat mampu berlaku adil terhadap mereka, yaitu adil dalam melayani istri, seperti nafkah, tempat tinggal, pakaian serta hal-hal yang bersifat lahiriah dan materi. Jika tidak mampu bersikap adil, maka cukup satu istri saja.”
Konsekuensi ketidakadilan dalam poligami juga diperingatkan oleh Nabi Muhammad SAW. Dalam hadits dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Barang siapa yang mempunyai istri lebih dari 2, lalu berat sebelah kepada salah satunya, maka kelak dia akan datang pada hari kiamat dengan salah satu bahunya miring.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Nasai dan Ibn Majah).
Izin Istri Pertama: Syarat Mutlak Poligami di Indonesia
Meskipun Islam membolehkan poligami dengan syarat keadilan, hukum perkawinan di Indonesia memiliki regulasi ketat yang mewajibkan persetujuan istri pertama. Dr. Misno dalam bukunya Hukum Keluarga menyatakan, “pernikahan poligami yang diwarnai dengan modus nikah di bawah tangan tanpa izin istri pertama, tentunya bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam hukum perkawinan.”
Di Indonesia, praktik perkawinan diatur oleh Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) bagi umat Islam, serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 10 Tahun 1983 khusus bagi Pegawai Negeri Sipil. Ketiga regulasi ini secara eksplisit menyebutkan bahwa persetujuan istri merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi suami yang akan berpoligami.
Muklis Al`anam, dalam bukunya 99 Tanya Jawab Hukum, menegaskan bahwa “secara hukum, poligami tanpa izin istri pertama hukumnya tidak dibenarkan dan juga dinyatakan cacat hukum.” Hal ini diperkuat oleh Pasal 4 ayat (1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa suami yang akan beristri lebih dari seorang wajib mengajukan permohonan ke Pengadilan daerah tempat tinggalnya.
Lebih lanjut, pasal berikutnya secara tegas menyebutkan bahwa untuk dapat mengajukan permohonan ke Pengadilan, suami harus mendapat persetujuan dari istri atau istri-istri yang telah ada. Dengan demikian, jika seorang suami menikah lagi tanpa izin istri pertama, pernikahan tersebut dianggap tidak sah secara hukum negara Indonesia.
Bahkan, meskipun dilakukan melalui nikah siri dan kemudian diajukan proses isbat nikah, izin istri pertama tetap menjadi syarat mutlak. Apabila istri pertama tidak memberikan izin, nikah siri tersebut dapat dianggap sebagai perzinaan di mata hukum negara. Wallahu a’lam.






