Internasional

Pengusaha Soroti Kenaikan UMP 2026, Ingatkan Industri Padat Karya Terancam Efisiensi

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, menyoroti penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) 2026. Ia mengingatkan pemerintah untuk mencermati dampak kenaikan upah terhadap industri padat karya yang masih berada dalam tekanan berat. Menurut Shinta, potensi efisiensi tenaga kerja bisa terjadi jika beban biaya terus bertambah tanpa dukungan komprehensif.

Dunia Usaha Ikuti Aturan, Namun Ada Kekhawatiran

Shinta menegaskan bahwa dunia usaha memahami penetapan UMP adalah kewenangan pemerintah dan tidak ada pilihan selain mengikuti regulasi yang berlaku. Namun, ia menekankan pentingnya mempertimbangkan kemampuan penyesuaian upah di tiap daerah serta kondisi sektor usaha.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

“Kami memahami bahwa keputusan penetapan Upah Minimum Tahun 2026 merupakan kewenangan pemerintah dan kini seluruh pemerintah daerah telah menetapkannya. Dunia usaha tentu tidak memiliki pilihan selain mengikuti regulasi dan ketentuan yang berlaku,” kata Shinta kepada CNBC Indonesia pada Senin (29/12/2025).

Ia melanjutkan, “Pada saat yang sama, kita juga perlu mencermati bagaimana kemampuan penyesuaian upah di tiap daerah dan potensi dampaknya terhadap sektor-sektor yang saat ini masih berada dalam tekanan berat, terutama industri padat karya yang menjadi penopang utama penciptaan lapangan kerja formal di Indonesia.”

Rata-rata Kenaikan UMP dan Tekanan Industri

Secara nasional, rata-rata kenaikan upah minimum 2026 di 38 provinsi tercatat sekitar 5,72%. Beberapa daerah dengan konsentrasi industri padat karya mengalami kenaikan yang cukup signifikan, seperti Jawa Tengah 7,28%, Banten 6,74%, Jawa Timur 6,11%, dan Jawa Barat 5,77%.

“Sektor industri padat karya yang banyak berlokasi di wilayah tersebut masih menghadapi tekanan biaya dan juga berbagai tantangan domestik dan global,” ucap Shinta.

Berdasarkan data kuartal III-2025, sejumlah subsektor industri menunjukkan pertumbuhan di bawah rata-rata nasional, bahkan mengalami kontraksi. Berikut rinciannya:

  • Industri tekstil dan pakaian jadi: tumbuh 0,93% secara tahunan (yoy)
  • Alas kaki: terkontraksi -0,25% yoy
  • Pengolahan tembakau: terkontraksi -0,93% yoy
  • Furnitur: terkontraksi -4,34% yoy
  • Karet dan plastik: terkontraksi -3,2% yoy

Selain itu, sektor otomotif juga mengalami kontraksi hingga -10% yoy per Oktober 2025.

“Kondisi ini menggambarkan terbatasnya ruang penyesuaian usaha di sektor-sektor tersebut di tengah berbagai tekanan yang masih berlangsung. Dengan ruang ekspansi yang semakin sempit, setiap tambahan beban biaya perlu dicermati secara hati-hati agar tidak mendorong langkah efisiensi yang berujung pada penyesuaian tenaga kerja,” jelas Shinta.

Apindo Harapkan Dukungan Pemerintah dan Strategi Komprehensif

Apindo berharap pemerintah dapat memberikan pembinaan dan dukungan bagi perusahaan yang menghadapi keterbatasan kemampuan, termasuk melalui kebijakan insentif dan fasilitasi. Hal ini penting untuk mencegah langkah efisiensi yang berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

“Kebijakannya tidak boleh berhenti di soal upah minimum saja. Dalam konteks tersebut, kebijakan pengupahan perlu ditempatkan dalam strategi ekonomi yang lebih menyeluruh dan komprehensif,” tegas Shinta.

Ia menambahkan, upah minimum memang berfungsi sebagai jaring pengaman dasar bagi pekerja. Namun, kesejahteraan berkelanjutan hanya bisa tercapai jika jumlah pekerjaan formal meningkat dan produktivitas tenaga kerja terus naik. Oleh karena itu, penguatan struktur dan skala upah berbasis kompetensi dan kinerja dinilai penting agar pekerja memiliki jalur peningkatan kesejahteraan yang bertahap, sementara perusahaan tetap memiliki ruang tumbuh dan menjaga daya saing.

Peningkatan keterampilan tenaga kerja melalui program upskilling dan reskilling berbasis kebutuhan industri juga dinilai krusial. “Kenaikan upah yang berkelanjutan hanya mungkin terjadi apabila dibarengi peningkatan produktivitas. Pekerja yang kompetensinya meningkat akan memiliki mobilitas karir lebih baik serta kemampuan earning yang lebih tinggi, sekaligus memperkuat daya saing perusahaan dalam jangka panjang,” papar Shinta.

Selain itu, Shinta menyoroti pentingnya upaya menekan biaya hidup pekerja. Ia mengusulkan investasi pemerintah pada infrastruktur pendukung seperti transportasi publik yang efisien, hunian terjangkau di dekat kawasan industri, serta layanan kesehatan dan pendidikan yang mudah diakses. Langkah ini diharapkan dapat membantu menjaga daya beli tanpa menambah beban perusahaan.

Penguatan jaminan sosial dan kebijakan perpajakan yang mendukung pekerja berpendapatan rendah, termasuk peningkatan kualitas layanan BPJS tanpa menaikkan iuran, juga perlu diperkuat.

“Dunia usaha siap bersinergi agar kebijakan yang ditempuh tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga memperkuat fondasi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berdaya saing, dan berkelanjutan, serta berfokus pada menjawab masalah urgent kita hari ini: penciptaan lapangan kerja formal,” pungkas Shinta.

Mureks