Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang pro-militer di Myanmar mengklaim telah memenangkan mayoritas dalam fase pertama pemilihan umum yang diselenggarakan oleh junta. Klaim kemenangan ini disampaikan oleh seorang sumber partai kepada AFP pada Senin (29/12), menyusul pemungutan suara yang digelar pada Minggu (28/12).
Pemilu bertahap selama sebulan ini diselenggarakan oleh angkatan bersenjata yang merebut kekuasaan melalui kudeta pada tahun 2021. Junta berjanji akan mengembalikan kekuasaan kepada rakyat melalui proses ini. Namun, partai yang sangat populer pimpinan tokoh demokrasi Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), telah dibubarkan dan tidak muncul dalam surat suara. Aung San Suu Kyi sendiri masih dipenjara sejak kudeta militer yang memicu perang saudara.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Kecaman Internasional dan Klaim Kecurangan Sebelumnya
Pemilu ini menuai kecaman keras dari para aktivis, diplomat Barat, dan kepala hak asasi manusia PBB. Mereka menyoroti penindakan keras terhadap perbedaan pendapat serta daftar kandidat yang didominasi oleh sekutu militer.
“Menurut berbagai laporan, USDP memenangkan mayoritas kursi di seluruh negeri,” kata seorang pejabat partai di ibu kota Naypyidaw, yang meminta namanya dirahasiakan karena tidak berwenang berbicara kepada media.
Hingga saat ini, hasil resmi belum diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum Myanmar. Masih ada dua tahap pemungutan suara lagi yang dijadwalkan pada 11 dan 25 Januari 2026.
Militer Myanmar sebelumnya membatalkan hasil pemilu tahun 2020, di mana partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi, mengalahkan USDP. Militer dan USDP menuduh adanya kecurangan pemilu besar-besaran, klaim yang menurut pengawas internasional tidak berdasar.
Jaminan Militer di Tengah Konflik
Kepala militer Min Aung Hlaing, yang telah memerintah secara diktator selama lima tahun terakhir, pada Minggu (28/12) menyatakan bahwa angkatan bersenjata dapat dipercaya untuk mengembalikan kekuasaan kepada pemerintah sipil.
“Kami menjamin ini akan menjadi pemilu yang bebas dan adil,” katanya kepada wartawan setelah memberikan suara di Naypyidaw. “Ini diorganisir oleh militer, kita tidak bisa membiarkan nama kita tercoreng.”
Kudeta militer pada tahun 2021 telah memicu perang saudara yang berkepanjangan. Aktivis pro-demokrasi membentuk unit gerilya dan bertempur bersama pasukan minoritas etnis yang telah lama menentang pemerintahan pusat.
Pemilihan hari Minggu dijadwalkan berlangsung di 102 dari 330 kota di negara itu, menjadikannya putaran pemungutan suara terbesar dari tiga putaran yang direncanakan. Namun, di tengah konflik yang terus berlangsung, militer mengakui bahwa pemilihan tidak dapat dilakukan di hampir seperlima daerah pemilihan majelis rendah.






