Internasional

Miliarder China Pindahkan Jet Pribadi ke Luar Negeri, Regulasi Ketat dan Ekonomi Lesu Jadi Pemicu Utama

Orang-orang super kaya di China, atau yang kerap disebut crazy rich, kini secara diam-diam memarkir jet pribadi mereka di luar negeri, terutama di Singapura dan Jepang. Fenomena ini diikuti dengan kecenderungan para miliarder dan eksekutif perusahaan untuk beralih menggunakan penerbangan komersial kelas bisnis atau layanan sewa jet untuk perjalanan internasional mereka.

Data dari Asian Sky Group menunjukkan adanya penurunan signifikan jumlah jet bisnis di China daratan. Pada tahun 2023, tercatat ada 270 unit, namun angka tersebut menyusut menjadi 249 unit pada tahun 2024. Armada jet sewaan juga mengalami penyusutan. Sebaliknya, Singapura justru mencatat kenaikan jumlah jet bisnis yang signifikan dalam setahun terakhir, diikuti oleh Hong Kong dengan kenaikan tipis.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Subramania Bhatt, CEO China Trading Desk, mengungkapkan bahwa banyak dari pesawat-pesawat tersebut sebenarnya masih dimiliki oleh warga China. “Kami melihat semakin banyak pesawat yang diam-diam dipindahkan basisnya ke Singapura dan Jepang,” kata Bhatt kepada South China Morning Post, Minggu (28/12).

Salah satu pemicu utama fenomena ini adalah aturan baru penerbangan yang semakin rumit di China. Pemerintah kini mewajibkan pengajuan dokumen dan persetujuan minimal lima hari kerja sebelum pesawat dapat terbang. Aturan ini dinilai sering mengacaukan rencana perjalanan bisnis yang membutuhkan fleksibilitas tinggi, terutama untuk kegiatan mendadak.

Selain itu, pemerintah juga melarang jet pribadi untuk lepas landas dan mendarat pada jam sibuk di bandara-bandara utama seperti Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan Shenzhen. Padahal, kota-kota tersebut merupakan pusat aktivitas bisnis dan ekonomi China.

Profesor keuangan Universitas Fudan, Charles Chang, menegaskan bahwa pembatasan tersebut membuat perjalanan ke luar negeri menjadi semakin sulit. “Aturan ini membuat terbang keluar dari China menjadi lebih rumit,” ujarnya.

Beberapa orang kaya bahkan dikabarkan memilih untuk pindah ke luar negeri, sekaligus memboyong pesawat pribadi mereka. Meskipun sesekali masih ‘pulang kampung’, China sudah tidak lagi menjadi tempat tinggal utama bagi para crazy rich ini.

Bank UBS mencatat bahwa jumlah miliarder China turun drastis pada tahun 2024, yang dipicu oleh krisis sektor properti dan gejolak pasar keuangan. Keruwetan regulasi penerbangan bukan satu-satunya pemicu. Biaya perawatan pesawat yang tinggi, serta bayang-bayang kampanye antikorupsi, turut membuat kepemilikan jet pribadi semakin tidak menarik.

Alhasil, banyak orang kaya Tiongkok kini memilih tampil lebih rendah hati. Mereka tetap bepergian, namun menggunakan pesawat komersial. Jika benar-benar diperlukan, mereka cenderung menyewa jet daripada menggunakan pesawat pribadi.

Fenomena ini membuat pasar jet pribadi di China terus menciut. Analis menilai tren penjualan pesawat pribadi ini juga tak lepas dari perlambatan ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Pelemahan daya beli menjadi faktor utama merosotnya minat terhadap jet pribadi di China.

“Seiring melambatnya pertumbuhan ekonomi Tiongkok… daya beli melemah, menyebabkan penurunan permintaan jet bisnis,” demikian laporan Asian Sky Group pada Maret lalu mengenai industri jet bisnis.

Meskipun demikian, pemerintah China masih berupaya meningkatkan infrastruktur untuk jet pribadi. Kantor berita Xinhua melaporkan bahwa China berencana menambah jumlah bandara sipil menjadi 450 pada tahun 2035, meningkat signifikan dari 234 bandara pada tahun 2019.

Mureks