Bepergian atau traveling kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dari gaya hidup modern, baik untuk rekreasi, pekerjaan, pendidikan, maupun sekadar mencari ketenangan. Namun, bagaimana Islam memandang aktivitas perjalanan ini? Agama Islam, sebagai rahmat bagi semesta alam, telah memberikan panduan komprehensif terkait safar atau perjalanan.
Imam Ibnu Katsir dalam Kitab Tafsir al-Qurthubi menjelaskan bahwa perjalanan ke berbagai penjuru bumi membuka peluang bagi manusia untuk mengejar beragam usaha dan perniagaan. Beliau menekankan bahwa keberhasilan dalam setiap upaya tersebut berasal dari kemudahan yang dianugerahkan Allah SWT.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Pengertian dan Hukum Safar dalam Islam
Dalam terminologi fikih, traveling dikenal dengan istilah safar, yaitu aktivitas meninggalkan tempat tinggal dengan jarak tertentu yang menimbulkan konsekuensi hukum. Konsekuensi ini meliputi keringanan dalam beribadah, seperti diperbolehkannya salat qashar dan jamak.
Safar dalam Islam tidak hanya terbatas pada tujuan ibadah semata, melainkan mencakup berbagai kebutuhan manusia, asalkan tetap berada dalam koridor syariat. Dikutip dari buku Wisata Religi Islami: Saya Menjejak Sejarah Spiritualitas Nusantara karya Suyartono Suwandi, traveling dalam Islam sangat dianjurkan.
“Sebab dengan traveling, manusia diharapkan akan semakin bersyukur dan mendapatkan banyak hikmah serta pelajaran dari berbagai kegiatan dan kejadian yang dihadapinya di perjalanan,” tulis Suyartono Suwandi.
Secara umum, hukum traveling dalam Islam adalah mubah atau boleh. Bahkan, dalam kondisi tertentu, bepergian dapat bernilai ibadah jika dilakukan dengan niat yang benar dan sesuai syariat. Perjalanan juga bisa menjadi sarana dakwah, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para pendahulu, termasuk para Nabi.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Mulk ayat 15:
هُوَ ٱلَّذِى جَعَلَ لَكُمُ ٱلْأَرْضَ ذَلُولًا فَٱمْشُوا۟ فِى مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا۟ مِن رِّزْقِهِۦ ۖ وَإِلَيْهِ ٱلنُّشُورُ
Artinya: “Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan.”
Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa Islam membolehkan manusia untuk bepergian dan mengambil manfaat serta rezeki dari perjalanan tersebut.
Doa Bepergian Sesuai Sunnah
Sebagai bagian dari adab perjalanan, umat Islam dianjurkan untuk memanjatkan doa safar sebelum memulai perjalanan. Doa ini merupakan bentuk tawakal dan permohonan perlindungan kepada Allah SWT.
Dikutip dari buku Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq oleh Syekh Sulaiman Ahmad Yahya Al-Faifi, terjemahan Tirmidzi Lc dkk, berikut adalah doa safar yang bisa diamalkan:
بِسْمِ اللَّهِ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللَّهِ لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللَّهِ اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ أَنْ أَضِلَّ أَوْ أُضَلَّ أَوْ أَزِلَّ أَوْ أُزَلَّ أَوْ أَظْلِمَ أَوْ أُظْلَمَ أَوْ أَجْهَلَ أَوْ يُجْهَلَ عَلَىَّ
Arab latin: Bismillahhi tawakkaltu ‘alallah, laa haula wa laa quwwata illa billaah, allahumma inni audzubika an adhilla aw udhalla aw azilla aw uzalla aw azhlima aw uzhlama aw ajhala aw yujhala alayya
Artinya: “Dengan menyebut nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, dan tidak ada daya maupun kekuatan kecuali dengan izin Allah. Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari menjadi sesat atau disesatkan, dari tergelincir atau digelincirkan, dari berbuat zalim atau dizalimi, dari menjadi bodoh atau dibodohi.”






