Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menghentikan penyidikan kasus dugaan korupsi izin tambang di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra), yang telah bergulir sejak 2017. Keputusan penghentian penyidikan atau Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) ini sebenarnya telah diterbitkan pada Desember 2024, namun baru diumumkan ke publik baru-baru ini, memicu kritik dari berbagai pihak.
Juru Bicara KPK Budi Prasetyo menegaskan bahwa penghentian kasus ini murni karena kendala teknis dalam penanganan perkara, bukan karena tekanan politik. “Kalau tekanan politik tidak ada, ini murni kendala di teknis proses penanganan perkara. Ketidakcukupan alat bukti karena auditor tidak bisa melakukan penghitungan,” kata Budi saat dihubungi pada Senin (29/12/2025).
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Kendala Penghitungan Kerugian Negara dan Kedaluwarsa
Budi menjelaskan, hambatan utama terletak pada penghitungan kerugian negara oleh auditor. Menurutnya, ketiadaan perhitungan kerugian negara membuat KPK kekurangan alat bukti untuk sangkaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).
“Sangkaan awal pasal 2 dan pasal 3 tapi dalam prosesnya auditor tidak bisa melakukan penghitungan KN-nya (kerugian negara),” ujar Budi. Ia menambahkan, “Ketidakcukupan alat bukti karena auditor tidak bisa melakukan penghitungan kerugian keuangan negara kemudian pasal suapnya kendala di kadaluarsa penuntutan.”
Selain itu, faktor waktu juga menjadi pertimbangan. Kasus ini, yang melibatkan mantan Bupati Konawe saat itu, Aswad Sulaiman (AS), dengan kerugian negara mencapai Rp 2,7 triliun, memiliki tempus perkara pada tahun 2009. Hal ini menyebabkan pasal suap dalam kasus tersebut telah kedaluwarsa untuk penuntutan.
“Kemudian, dengan tempus perkara yang sudah 2009, ini juga berkaitan dengan daluwarsa perkaranya, yakni terkait pasal suapnya,” imbuhnya. Budi menyatakan, penerbitan SP3 ini memberikan kejelasan dan kepastian hukum bagi pihak terkait, sesuai dengan asas-asas pelaksanaan tugas dan kewenangan KPK.
Kritik Keras dari Mantan Pimpinan dan ICW
Keputusan KPK ini langsung menuai kritik tajam. Mantan Wakil Ketua KPK, Saut Situmorang, menyoroti kurangnya transparansi KPK dalam mengumumkan penghentian penyidikan.
“Pemberantasan korupsi kan syaratnya harus transparan, apa yang Anda lakukan publik harus tahu apalagi sudah penyidikannya. Kenapa baru sekarang ini aja sudah jadi pertanyaan,” kata Saut pada Senin (29/12/2025).
Saut mendesak KPK untuk lebih terbuka dalam menjelaskan alasan di balik penghentian perkara. Ia juga mendorong Dewan Pengawas (Dewas) KPK untuk proaktif menelaah keputusan SP3 ini, mengevaluasi kinerja KPK terkait penghentian kasus korupsi senilai triliunan rupiah.
“Jadi artinya saya challenge Dewas untuk melihat supaya nggak jadi omon-omon bener pemberantasan korupsi ini,” tegas Saut.
Senada, Indonesia Corruption Watch (ICW) mempertanyakan alasan KPK membutuhkan waktu satu tahun untuk menyampaikan informasi penghentian perkara kepada publik. SP3 telah dikeluarkan sejak Desember 2024, padahal Pasal 40 ayat 2 UU KPK dan Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 mengamanatkan pelaporan ke Dewas paling lambat 14 hari setelah SP3 diterbitkan.
“ICW mempertanyakan mengapa KPK butuh waktu satu tahun untuk menyampaikan informasi tersebut ke publik? Mengapa informasi tersebut tidak segera disampaikan kepada publik?” ujar peneliti ICW, Wana Alamsyah, pada Senin (29/12/2025).
Wana juga mengungkapkan bahwa nama Aswad Sulaiman tidak tercantum dalam laporan tahunan KPK maupun Dewan Pengawas KPK berdasarkan penelusuran ICW. “Berdasarkan penelusuran ICW terhadap laporan tahunan KPK dan Dewan Pengawas KPK, nama AS tidak masuk di dalam laporan tersebut,” katanya.
ICW menilai mekanisme SP3 yang dimiliki KPK saat ini rawan menjadi celah kepentingan dan tidak sejalan dengan semangat pemberantasan korupsi. “Penghentian perkara dapat berpotensi bukan didasarkan atas pandangan objektif, melainkan dari penilaian subjektif yang sulit untuk ditagih akuntabilitasnya oleh publik,” pungkas Wana.






