Keuangan

Kisah Sri Sultan Hamengkubuwono IX: Raja Terkaya yang Rela Kuras Harta Demi Rakyat di Tengah Badai Kemerdekaan

Advertisement

Di tengah gejolak ekonomi dan ketidakpastian yang melanda Indonesia pada masa awal kemerdekaan, muncul sosok penguasa yang memilih jalan tak biasa. Ia bukan pejabat republik, melainkan seorang raja Jawa yang kala itu dikenal sebagai orang terkaya di Nusantara: Sri Sultan Hamengkubuwono IX.

Saat banyak pemimpin berjuang mempertahankan kekuasaan, Sultan justru mengambil langkah mengejutkan. Ia membuka dompet pribadinya, menyalurkan puluhan miliar rupiah demi meringankan penderitaan rakyat Yogyakarta.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Catatan sejarah memang tidak pernah merinci pasti kekayaan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Namun, ia dikenang sebagai dermawan yang tak segan mengalirkan hartanya untuk kepentingan rakyat. Harta tersebut, yang berasal dari warisan serta sistem feodalisme kerajaan yang masih berlaku di Yogyakarta, digunakan untuk membantu pemerintah dan masyarakat.

Pada awal kemerdekaan, ia menyumbangkan 6,5 juta gulden kepada pemerintah Republik Indonesia. Tak hanya itu, 5 juta gulden juga disalurkan langsung untuk rakyat yang menderita. Jika dikonversi ke nilai saat ini, total sumbangan tersebut diperkirakan setara dengan Rp 20 miliar hingga Rp 30 miliar.

Meski memiliki kekayaan melimpah dan kedudukan terhormat, Sri Sultan dikenal menjalani hidup yang sangat sederhana. Banyak kesaksian menyebut ia tidak pernah memamerkan hartanya.

Sultan Hamengkubuwono IX, Raja yang Tak Malu Jajan Es Pinggir Jalan

Dalam buku Tahta untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengkubuwono IX yang terbit pada tahun 1982, diceritakan sebuah momen pada tahun 1946. Saat itu, di tengah cuaca panas terik, Sri Sultan pernah membeli es dari pedagang gerobak di pinggir jalan depan Stasiun Klender, Jakarta. Ia memilih menikmati minuman segar di sana, alih-alih pergi ke restoran mewah, persis seperti rakyat biasa.

Menjadi Sopir Truk dan Diprotes Penjual Beras

Kisah lain yang tak kalah menarik adalah saat Sri Sultan menjadi sopir truk pengangkut beras. Peristiwa ini bermula ketika ia mengendarai truk Land Rover miliknya dari pedesaan menuju pusat kota. Di tengah perjalanan, seorang perempuan penjual beras menghentikannya dan meminta tumpangan ke pasar.

Advertisement

Tanpa mengetahui bahwa yang ia tumpangi adalah seorang raja, perempuan itu meminta sang sopir membantu mengangkat dua karung besar beras ke truk. Sri Sultan langsung mengiyakan dan mengangkatnya sendiri.

Dalam otobiografi Pranoto Reksosamodra berjudul Catatan Jenderal Pranoto Reksosamodra yang terbit tahun 2015, disebutkan bahwa sepanjang perjalanan mereka mengobrol akrab. Sang penjual beras sama sekali tidak menyadari bahwa lawan bicaranya adalah penguasa Yogyakarta.

Sesampainya di pasar, Sri Sultan menurunkan karung-karung beras itu. Sang penjual kemudian menawarkan upah, namun Sultan menolak dengan halus dan mengembalikan uang tersebut. Penolakan itu justru membuat penjual beras tersinggung. Ia mengira sang sopir menolak karena merasa upahnya terlalu kecil. Perempuan itu pun marah dan mengomel, sementara Sri Sultan memilih pergi tanpa menjelaskan siapa dirinya.

Tak lama kemudian, seseorang memberitahu perempuan itu bahwa ‘sopir truk’ yang baru saja ia marahi adalah Sultan Hamengkubuwono IX. Mendengar kabar tersebut, ia terkejut hebat hingga pingsan dan harus dilarikan ke rumah sakit. Kabar mengenai insiden itu sampai ke telinga Sri Sultan. Ia segera memacu kendaraannya menuju rumah sakit dan menjenguk penjual beras itu secara pribadi.

Begitulah potret Sri Sultan Hamengkubuwono IX, raja terkaya di Indonesia yang memilih membagi hartanya agar rakyat tidak menderita. Ia menjalani hidup bukan sebagai penguasa yang berjarak, melainkan sebagai manusia yang berdiri sejajar dengan rakyatnya.

Advertisement
Mureks