Bencana banjir yang melanda Sumatera harus dipandang lebih dari sekadar musibah. Menurut Rektor Universitas Paramadina, Didik J Rachbini, peristiwa ini merupakan momentum krusial untuk melakukan terobosan reforma agraria, menegakkan keadilan dalam pemilikan tanah, sekaligus mengoreksi degradasi lingkungan hidup yang terjadi.
Dalam catatan sejarah kebijakan publik, krisis seringkali berfungsi sebagai “jendela kebijakan” (policy window) yang membuka peluang untuk koreksi struktural. Oleh karena itu, semua pihak didesak untuk segera merumuskan langkah dan kebijakan korektif terhadap permasalahan mendasar ini.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Didik J Rachbini menegaskan bahwa banjir berulang di Sumatera bukan hanya musibah alam biasa, melainkan sebuah peringatan keras atas deforestasi masif dan ketimpangan penguasaan tanah. Ia memandang reforma agraria sebagai solusi fundamental yang bersifat struktural, konstitusional, dan berorientasi jangka panjang untuk mengatasi akar masalah tersebut.
Mendesaknya Kerangka Kebijakan Reforma Agraria Sumatera
Berangkat dari pemikiran tersebut, diperlukan sebuah format kebijakan (policy brief) yang mendesak dan siap diimplementasikan oleh Presiden, kementerian/lembaga terkait, DPR, serta pemerintah provinsi. Meskipun upaya penanganan jangka pendek untuk korban banjir masih menjadi prioritas, pemikiran mengenai solusi jangka panjang atas masalah banjir besar ini harus segera dimulai.
Permasalahan utama di balik fenomena banjir Sumatera adalah isu struktural, meliputi ketimpangan penguasaan tanah dan degradasi Daerah Aliran Sungai (DAS). Banjir yang terus berulang di berbagai wilayah Sumatera, menurut Didik, bukan semata fenomena alam, melainkan akumulasi kegagalan tata kelola lahan dan DAS. Alih fungsi hutan dan penguasaan lahan dalam skala besar telah menciptakan risiko bencana sistemik yang harus diselesaikan secara sistematis, bersamaan dengan upaya pemulihan dan bantuan bagi korban.
Kerangka kebijakan yang harus diambil adalah menjadikan bencana ini sebagai pelajaran untuk melakukan koreksi struktural terhadap penguasaan tanah dan pengaturan tata ruang yang layak secara ekologis. Oleh karena itu, Didik mengusulkan pembentukan “Reforma Agraria Sumatera” sebagai kebijakan korektif dan preventif dengan empat tujuan utama:
- Mengurangi risiko banjir secara struktural.
- Menata ulang penguasaan dan penggunaan tanah.
- Memberi kepastian hak tanah bagi rakyat dan korban bencana.
- Memulihkan fungsi ekologis Daerah Aliran Sungai (DAS).
Kebijakan ini, lanjut Didik, harus segera dijalankan untuk mengatasi kerusakan fungsi hutan, konsesi besar seperti Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit yang menutup ruang resapan air, serta ketimpangan penguasaan tanah yang sudah terlanjur terjadi. Ia menekankan bahwa pelaksanaan usulan ini tidak memerlukan undang-undang baru, sebab telah memiliki dasar konstitusional dan hukum yang kuat. Yang dibutuhkan, menurutnya, adalah keputusan politik lintas sektor.
Akar masalah banjir, menurut Didik, adalah komplikasi di hulu, tengah, dan hilir, yang mencakup deforestasi, konsesi HTI dan sawit di wilayah tangkapan air, serta ketimpangan penguasaan tanah, keberadaan petani gurem, dan konflik agraria. Ia menegaskan, banjir merupakan indikator kegagalan tata ruang dan agraria, bukan semata bencana alam.
Dalam situasi kritis dan darurat seperti ini, negara secara hukum sah untuk melakukan redistribusi tanah demi keselamatan rakyat dan lingkungan. Hal yang mendesak adalah kemampuan negara untuk mengembalikan fungsi ekologis lahan sekaligus mendistribusikan tanah secara adil kepada rakyat kecil, petani, dan korban bencana.
Kebijakan baru yang diusulkan harus memiliki tujuan jelas untuk mengurangi risiko banjir melalui penataan ulang ruang dan tanah secara tegas, disertai pengawasan publik dari masyarakat sipil, kampus, dan organisasi masyarakat. Ini juga bertujuan mewujudkan keadilan melalui koreksi atas penguasaan tanah. Tujuan jangka panjangnya adalah memulihkan fungsi ekologis DAS secara berkelanjutan.
Desain Reforma Agraria dari Hulu hingga Hilir
Desain kebijakan reforma agraria, menurut Didik, harus dilakukan secara komprehensif dari hulu hingga hilir. Masalah deforestasi dan izin skala besar yang tidak layak atau menyimpang perlu dikoreksi melalui kebijakan perhutanan sosial dan Reforma Agraria Ekologis. Ini termasuk konversi hutan produksi kritis menjadi hutan desa, hutan adat, dan agroforestri rakyat, dengan pemberian hak kelola kolektif selama 35 tahun oleh negara.
Program ini, lanjutnya, selayaknya dapat dilaksanakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN). Di zona tengah, kebijakan redistribusi dan konsolidasi tanah dapat dijalankan dengan memanfaatkan sumber lahan dari tanah terlantar, ilegal, eks konsesi HTI, dan Hak Guna Usaha (HGU) yang telah berakhir.
Distribusi tanah diusulkan sekitar 2 hektare per kepala keluarga, mirip program transmigrasi era Orde Baru, disertai sertifikat hak milik atau hak usaha terbatas. Pemerintah juga diharapkan menerapkan larangan jual selama 10-15 tahun, dengan Koperasi Merah Putih berpotensi berperan dalam skema ini.
Kembali pada Amanat Konstitusi
Didik J Rachbini menegaskan bahwa masalah struktural yang terjadi saat ini telah menyimpang dari amanat konstitusi. “Bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat,” kutipnya, merujuk pada Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Ia mendesak pemerintah untuk menjadikan reforma agraria ini sebagai program nasional mitigasi bencana.
Dalam implementasinya, Presiden dapat membentuk satuan tugas pemulihan bencana, perbaikan tata ruang, dan distribusi tanah untuk rakyat melalui Peraturan Presiden. Selain konstitusi, Undang-Undang Pokok Agraria (UU Nomor 5 Tahun 1960) juga dapat menjadi dasar kebijakan ini, yang memberikan wewenang kepada negara untuk mengatur peruntukan tanah, membatasi penguasaan berlebihan, dan melakukan redistribusi tanah.






