Film How It Ends, yang sering diinterpretasikan sebagai kisah tentang rekonsiliasi diri di tengah ancaman kiamat, justru memunculkan pertanyaan mendalam mengenai respons kolektif terhadap krisis. Alih-alih menampilkan kepanikan massal atau upaya bertahan hidup bersama, film ini menyajikan gambaran akhir dunia yang sunyi dan tidak mendesak.
Banyak penonton menganggap How It Ends sebagai sebuah narasi yang tenang, reflektif, dan sarat percakapan personal. Namun, di sinilah letak kritik utamanya: mengapa kehancuran global dalam film ini terasa begitu personal dan minim respons kolektif? Dunia runtuh secara perlahan, hampir tanpa reaksi berarti dari para tokohnya. Mereka terus berjalan, berbincang, dan merenung, seolah kiamat hanyalah latar belakang untuk menyelesaikan urusan batin masing-masing.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Krisis sebagai Ruang Introspeksi, Bukan Tanggung Jawab Bersama
Dalam alur cerita How It Ends, kehancuran dunia tidak memicu panggilan untuk tanggung jawab bersama. Sebaliknya, ia menjadi semacam “ruang aman” bagi para karakter untuk mengolah emosi yang tertunda, seperti penyesalan, ketakutan, dan penerimaan diri. Konflik terbesar yang dihadapi bukan berasal dari ancaman eksternal, melainkan dari pergulatan internal, yang dipertegas melalui hubungan tokoh utama dengan versi mudanya.
Cara pandang ini memiliki resonansi kuat dengan budaya kontemporer. Di tengah berbagai krisis—mulai dari pandemi global, ancaman perubahan iklim, hingga ketidakpastian ekonomi—respons yang sering muncul bukanlah tindakan kolektif, melainkan ajakan untuk “healing“, “self-acceptance“, dan “processing emotions“. Bahasa terapi menjadi dominan, sementara diskursus tentang tanggung jawab bersama kerap terpinggirkan.
Batasan Refleksi Diri dalam Menghadapi Krisis
Meskipun How It Ends tidak sepenuhnya menolak pentingnya refleksi diri, film ini secara implisit menunjukkan batasannya. Ketika introspeksi menjadi tujuan akhir, krisis berhenti menjadi persoalan bersama. Seolah-olah, dunia boleh saja berakhir, asalkan setiap individu telah mencapai kedamaian dengan dirinya sendiri.
Perubahan dalam narasi film ini tidak ditandai oleh keputusan sulit atau pengorbanan sosial, melainkan oleh ketenangan emosional yang dicapai para tokoh. Penutup film menawarkan rasa lega, bukan solusi konkret terhadap kehancuran yang terjadi. Dalam konteks ini, How It Ends merefleksikan budaya dewasa modern yang cenderung menunda kedewasaan kolektif, dengan memusatkan perhatian pada perjalanan batin personal.
Melalui film ini, kita diajak untuk merenungkan bagaimana kedewasaan kini sering dipahami sebagai proses internal semata. Padahal, setiap krisis—sekecil atau sebesar apa pun—selalu melibatkan lebih dari satu individu. Ketika dunia terasa sunyi di ambang kehancuran, mungkin bukan karena tidak ada yang terjadi, melainkan karena tidak ada yang benar-benar bertindak secara kolektif.






