Nasional

Jakarta Pilih Jeda: Tahun Baru 2026 Tanpa Kembang Api, Prioritaskan Empati Korban Bencana

Advertisement

Jumat, 26 Desember 2025 – Jakarta akan menyambut malam pergantian tahun 2026 tanpa gemerlap pesta kembang api. Keputusan ini diumumkan langsung oleh Gubernur Jakarta, Pramono Anung, yang menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan bentuk empati mendalam kepada masyarakat di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh yang masih berduka serta tengah menjalani pemulihan pascabencana banjir dan tanah longsor.

Empati di Tengah Duka: Makna di Balik Kebijakan Tanpa Kembang Api

Pramono Anung menyatakan, “Tak ada pesta kembang api di Jakarta saat malam Tahun Baru 2026.” Ia menjelaskan bahwa penyederhanaan perayaan malam Tahun Baru ini bukan sekadar pengumuman administratif, melainkan sebuah pesan moral yang kuat: bahwa empati lebih penting daripada euforia. Di tengah tradisi tahunan yang identik dengan dentuman cahaya dan sorak-sorai, Jakarta justru memilih jeda, sebuah keheningan yang sarat makna.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Dalam konteks ini, empati dimaknai sebagai cara pandang dalam mengelola ruang publik. Ketika pemerintah daerah memutuskan untuk menahan diri dari pesta, hal itu berarti mengakui bahwa tidak semua masyarakat berada pada titik yang sama untuk merayakan. Ada sebagian warga yang masih berhadapan dengan kehilangan, bencana, tekanan ekonomi, dan ketidakpastian hidup. Bagi mereka, kembang api bisa terasa seperti ironi: cahaya yang terang di langit, sementara hidup tetap gelap di bawahnya.

Pergeseran Paradigma Kepemimpinan Perkotaan

Kebijakan ini bergerak di ranah simbolik. Seperti yang diungkapkan oleh Murray Edelman, “politik bukan sekadar soal hasil, melainkan juga tentang pesan.” Kembang api yang ditiadakan bukan berarti matinya kegembiraan, melainkan penanda kepekaan kota terhadap masyarakat. Ini adalah pergeseran makna perayaan: dari perayaan menjadi ruang refleksi bersama.

Jika ditarik dalam kacamata tata kota global dan modern, keputusan Jakarta ini juga mencerminkan pergeseran paradigma kepemimpinan perkotaan. Kota-kota besar di dunia mulai sadar bahwa keberlanjutan sosial tidak selalu sejalan dengan budaya pesta dan konsumsi berlebihan. Sebaliknya, perayaan yang ramah lingkungan, sensitif terhadap krisis sosial, dan menghormati ruang batin masyarakat sebangsa menjadi prioritas. Dengan kebijakan tanpa kembang api, Jakarta menempatkan dirinya dalam arus kota-kota yang berusaha lebih sadar dan beradab.

Kepemimpinan Moral dan Etika Tanggung Jawab

Dengan tidak menghadirkan spektakel perayaan, Jakarta menyampaikan bahwa kepemimpinan tidak harus selalu dipertontonkan melalui kemeriahan visual atau simbol kekuasaan. Namun, dapat diwujudkan melalui keberanian moral, yakni mengambil keputusan yang mungkin tidak populer, tetapi selaras dengan konteks sosial dan rasa keadilan publik. Inilah pergeseran makna perayaan: dari demonstrasi kekuasaan (show of power) menuju ekspresi kepedulian (gesture of care).

Sebuah penegasan bahwa legitimasi kepemimpinan tidak semata lahir dari panggung sorak-sorai dan ritual seremonial, tetapi dari kepekaan etis atas situasi masyarakat yang sedang menghadapi musibah. Dalam konteks ini, absennya perayaan justru menjadi pesan politik yang kuat: negara hadir “tidak untuk dirayakan, tetapi untuk merawat.”

Advertisement

Komunikasi politik Aristotelian memandang bahwa kebijakan menjadikan empati sebagai sumber kredibilitas. Di sini, Pramono tidak hanya berbicara tentang solidaritas, tetapi menginstitusikannya dalam bentuk keputusan publik. Di titik inilah etos bekerja secara efektif: membentuk citra pemimpin yang bermoral, bijaksana, dan berpihak pada rasa keadilan sosial. Sebuah karakter yang menurut Aristoteles menjadi fondasi utama bagi daya persuasif kepemimpinan di ruang publik.

Pemikir politik Max Weber membedakan kepemimpinan administratif dan kepemimpinan yang bertumpu pada etika tanggung jawab. Dalam hal ini, Gubernur Pramono Anung tidak hanya sekadar mengelola acara, tetapi juga menimbang dampak sosial dan emosionalnya. Pramono menyadari bahwa kebijakan publik selalu memproduksi makna, dan makna itulah yang membentuk kepercayaan. Pilihan untuk “tidak berpesta” justru menjadi pernyataan nilai.

Dalam kerangka Weberian, pemimpin yang berpegang pada etika tanggung jawab tidak semata mengikuti keinginan populer, tetapi mempertimbangkan apa yang secara moral benar dan bermanfaat untuk kebaikan masyarakat luas. Keputusan untuk meniadakan perayaan bukanlah penolakan terhadap kegembiraan publik, melainkan penegasan batas moral tentang kapan negara perlu bersuara dan kapan perlu menahan diri.

Jakarta Memilih Bahasa Manusiawi

Pada akhirnya, keputusan “tanpa kembang api” ini memperlihatkan satu hal penting: komunikasi politik tidak selalu tentang siapa paling lantang, tetapi siapa paling peka membaca suasana. Di tengah dunia yang serba cepat, keras, dan kompetitif, Jakarta memilih jeda sejenak, mengajak warganya merayakan waktu dengan kesadaran dan empati.

Tahun Baru 2026 mungkin tidak akan diingat karena gemerlap langitnya. Namun, ia berpeluang dikenang sebagai momen ketika sebuah kota besar belajar berbicara dengan bahasa yang lebih manusiawi. Bukan bahasa pesta, melainkan bahasa empati. Dan dalam politik hari ini, hal itu bukan pilihan yang lemah, melainkan tanda kedewasaan.

Advertisement
Mureks