Otoritas Israel secara resmi melarang operasional puluhan kelompok bantuan kemanusiaan di Jalur Gaza, Palestina, mulai Kamis, 1 Januari 2026. Larangan ini diberlakukan terhadap 37 organisasi, termasuk Doctors Without Borders (MSF), karena dianggap tidak mematuhi prosedur yang ditetapkan oleh Negeri Zionis.
Menteri Urusan Diaspora Israel, Amichai Chikli, menegaskan bahwa keputusan ini diambil sebagai respons terhadap dugaan penyalahgunaan kerangka kerja kemanusiaan. “Pesan kami jelas: bantuan kemanusiaan diterima. Namun pemanfaatan kerangka kerja kemanusiaan untuk aksi terorisme tidak dapat diterima,” kata Chikli, seperti dikutip Al Jazeera.
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Selain Doctors Without Borders, beberapa kelompok lain yang akan dilarang beroperasi di Gaza meliputi Norwegian Refugee Council, CARE International, International Rescue Committee, serta divisi dari badan amal besar seperti Oxfam dan Caritas. Israel menuduh kelompok-kelompok ini gagal menyerahkan informasi detail mengenai staf, pendanaan, dan operasional mereka.
Secara spesifik, Israel menuduh Doctors Without Borders bekerja sama dengan kelompok milisi Hamas karena menolak mengklarifikasi peran beberapa stafnya. Menanggapi tuduhan ini, MSF dalam pernyataannya membantah keras. “MSF tidak akan pernah mempekerjakan orang yang terlibat dalam aktivitas militer,” demikian pernyataan mereka, juga dikutip Al Jazeera.
MSF menambahkan bahwa larangan operasional ini akan berdampak buruk pada layanan kesehatan di Gaza, mengingat mereka memasok sekitar 20 persen tempat tidur rumah sakit dan sepertiga proses kelahiran di wilayah tersebut.
Keputusan Israel ini menuai kecaman dari berbagai organisasi internasional. Amjad Shawa dari Palestine NGOs Network menyebut langkah Israel sebagai bagian dari upaya berkelanjutan “untuk memperdalam bencana kemanusiaan” di Gaza. “Pembatasan operasi kemanusiaan di Gaza dilakukan agar mereka bisa melanjutkan proyek pengusiran warga Palestina, mendeportasi warga Gaza. Ini adalah salah satu hal yang terus dilakukan Israel,” ujar Shawa kepada Al Jazeera.
Senada, Dr. James Smith, seorang dokter Inggris yang pernah menjadi sukarelawan di Gaza namun ditolak masuk kembali oleh otoritas Israel, mengecam pembatasan tersebut. “Situasi yang sudah mengerikan akan menjadi lebih mengerikan lagi. Perubahan akan terjadi seketika dan tanpa ampun,” kata Smith kepada Al Jazeera.
Langkah Israel ini muncul di tengah meningkatnya keprihatinan global atas memburuknya situasi kemanusiaan di Gaza. Sejumlah negara, termasuk Inggris, Kanada, Denmark, Finlandia, Prancis, Islandia, Jepang, Norwegia, Swedia, dan Swiss, mengeluarkan pernyataan bersama. Mereka menyoroti bahwa musim dingin yang melanda Gaza telah memperparah kondisi, menjadikannya “bencana”.
Pernyataan bersama tersebut merinci bahwa “1,3 juta orang masih membutuhkan bantuan tempat tinggal. Lebih dari setengah fasilitas kesehatan hanya berfungsi sebagian dan kini menghadapi kekurangan peralatan dan perlengkapan medis penting. Keruntuhan total infrastruktur sanitasi telah membuat 740.000 orang rentan terhadap banjir beracun.”
Negara-negara tersebut mendesak Israel untuk memastikan kelompok bantuan internasional dapat beroperasi di Gaza secara “berkelanjutan dan dapat diprediksi”, serta menyerukan pembukaan segera perbatasan darat guna meningkatkan aliran bantuan kemanusiaan.






