Lifestyle

Hukum Pernikahan dengan Mualaf: Mengurai Perdebatan Sah atau Harus Berpisah Menurut Syariat Islam

Advertisement

Pernikahan dalam Islam merupakan ikatan suci yang tidak hanya melibatkan emosi, tetapi juga terikat kuat oleh aturan syariat. Allah SWT menciptakan laki-laki dan perempuan secara berpasang-pasangan, namun seringkali muncul pertanyaan di tengah masyarakat terkait pernikahan dengan pasangan yang baru memeluk agama Islam (mualaf) atau bahkan yang belum beragama Islam. Bagaimana hukumnya? Apakah pernikahan tersebut sah dan diperbolehkan?

Hukum Pernikahan dengan Pasangan Mualaf

Menurut hukum Islam, terdapat dua syarat utama sahnya sebuah pernikahan. Pertama, calon mempelai perempuan harus halal untuk dinikahi, artinya tidak sedang dalam keadaan yang diharamkan seperti hubungan darah (mahram) atau sedang dalam masa iddah. Kedua, pernikahan wajib dihadiri oleh minimal dua orang saksi laki-laki yang adil dan berakal.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Selain itu, syarat sah bagi calon pengantin pria dan wanita dalam hukum Islam mencakup beberapa hal, salah satunya adalah beragama Islam. Oleh karena itu, pernikahan dengan pasangan yang baru masuk Islam atau mualaf hukumnya sah dan diperbolehkan. Hal ini karena masing-masing calon mempelai telah memenuhi kriteria beragama Islam sebagai salah satu syarat sah.

Pernikahan Jika Pasangan Belum Masuk Islam

Lantas, bagaimana hukum pernikahan jika salah satu di antara pasangan belum memeluk agama Islam? Kasus serupa pernah terjadi pada pernikahan Zainab binti Rasulullah SAW dengan suaminya, Abu Al-Ash bin Rabi, sebagaimana dinukil dari buku Fatwa-Fatwa Kontemporer 3 oleh Yusuf Al-Qaradhawi.

Ketika Zainab masuk Islam dan suaminya belum memeluk Islam, istri diperbolehkan tetap tinggal bersama suaminya dan menunggu hingga suaminya masuk Islam. Dalam kondisi ini, suami tidak diperbolehkan melakukan hubungan suami istri, tidak berhak menghukum istri, dan tidak wajib memberikan nafkah. Semua hal tergantung pada istri, dan suami bukanlah pemilik kekuasaan atas istrinya dalam setiap hal.

Apabila kemudian suaminya masuk Islam, maka tidak diperlukan akad pernikahan baru dengan syarat menyertakan wali, mahar, saksi, dan akad (ijab qabul) yang baru lagi. Keislaman suami menjadi qabul diterimanya akad, dan penungguan istri dianggap sebagai ijab-nya.

Namun, jika suami yang masuk Islam terlebih dahulu dan istrinya belum menerimanya, maka jika istri tetap tinggal bersama suaminya, hal itu dapat menjadi masalah atau membahayakan bagi suami, dan tidak ada kebaikan baginya. Hal ini sejalan dengan firman Allah SWT dalam potongan Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 10:

…وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ…

Wa lā tumsikū bi’ishamil-kawāfir.

Artinya: “…Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita kafir…”

Dalil Pendapat yang Menyegerakan Berpisah

Ibnul Qayyim, sebagaimana dikutip dalam buku yang sama, menyebutkan dalil bagi mereka yang berpendapat bahwa pasangan harus segera berpisah jika salah satu belum Islam. Dalil tersebut merujuk pada firman Allah dalam Al-Qur’an surah Al-Mumtahanah ayat 10:

Advertisement

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اِذَا جَاۤءَكُمُ الْمُؤْمِنٰتُ مُهٰجِرٰتٍ فَامْتَحِنُوْهُنَّۗ اَللّٰهُ اَعْلَمُ بِاِيْمَانِهِنَّ فَاِنْ عَلِمْتُمُوْهُنَّ مُؤْمِنٰتٍ فَلَا تَرْجِعُوْهُنَّ اِلَى الْكُفَّارِۗ لَا هُنَّ حِلٌّ لَّهُمْ وَلَا هُمْ يَحِلُّوْنَ لَهُنَّۗ وَاٰتُوْهُمْ مَّآ اَنْفَقُوْاۗ وَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ اَنْ تَنْكِحُوْهُنَّ اِذَآ اٰتَيْتُمُوْهُنَّ اُجُوْرَهُنَّۗ وَلَا تُمْسِكُوْا بِعِصَمِ الْكَوَافِرِ وَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقْتُمْ وَلْيَسْـَٔلُوْا مَآ اَنْفَقُوْاۗ ذٰلِكُمْ حُكْمُ اللّٰهِ ۗيَحْكُمُ بَيْنَكُمْۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ

Yā ayyuhal-lażīna āmanū iżā jā’akumul-mu’minātu muhājirātin famtaḥinūhunn(a), allāhu a’lamu bi’īmānihinna fa’in ‘alimtumūhunna mu’minātin falā tarji’ūhunna ilal-kuffār(i), lā hunna ḥillul lahum wa lā hum yaḥillūna lahunn(a), wa ātūhum mā anfaqū, wa lā junāḥa ‘alaikum an tankiḥūhunna iżā ātaitumūhunna ujūrahunn(a), wa lā tumsikū bi’iṣamil-kawāfiri was’alū mā anfaqū, żālikum ḥukmullāh(i), yaḥkumu bainakum, wallāhu ‘alīmun ḥakīm(un).

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih tahu tentang keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui (keadaan) mereka bahwa mereka (benar-benar sebagai) perempuan-perempuan mukmin, janganlah kamu kembalikan mereka kepada orang-orang kafir (suami mereka). Mereka tidak halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal pula bagi mereka. Berikanlah kepada (suami) mereka mahar yang telah mereka berikan. Tidak ada dosa bagimu menikahi mereka apabila kamu membayar mahar kepada mereka. Janganlah kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir. Hendaklah kamu meminta kembali (dari orang-orang kafir) mahar yang telah kamu berikan (kepada istri yang kembali kafir). Hendaklah mereka (orang-orang kafir) meminta kembali mahar yang telah mereka bayar (kepada mantan istrinya yang telah beriman). Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Kelompok yang menyegerakan berpisah berpendapat bahwa ini adalah hukum Allah SWT yang tidak boleh dilanggar. Ayat ini menjelaskan bahwa Allah SWT melarang seorang istri kembali kepada kekafiran (suami yang kafir) dan memperbolehkan seseorang untuk menikahi wanita dalam keadaan tersebut. Bahkan jika suaminya masuk Islam pada masa iddah atau lebih dari masa iddah, suaminya tetap tidak diperbolehkan menikahinya kembali.

Tanggapan dari Kelompok Lain

Terkait masalah ini, ada kelompok lain yang tidak sepaham dengan pendapat di atas. Mereka menyatakan setuju dan sepakat dengan ayat Al-Qur’an tersebut, namun menafsirkan bahwa ayat tersebut tidak mengharuskan bersegera berpisah jika salah satu dari pasangan ada yang masuk Islam terlebih dahulu. Mereka berargumen bahwa Rasulullah SAW, para sahabat, dan para tabi’in pun tidak memaknai ayat ini seperti itu.

  • Potongan ayat “Falā tarji’ūhunna ilal-kuffār” (Janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir) menjelaskan larangan mengembalikan wanita yang telah berhijrah di jalan Allah dan Rasul-Nya kepada orang-orang kafir. Ayat ini tidak mengandung makna larangan agar istri menunggu suaminya hingga masuk Islam, dan kemudian istri bisa kembali padanya.

  • Potongan ayat “Lā hunna ḥillun lahum wa lā hum yaḥillūna lahunna” (Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir dan orang-orang kafir tiada halal pula bagi mereka) menjelaskan ketetapan haramnya antara orang Islam dan orang kafir, dan tidak dihalalkan satu sama lainnya. Ini bukan berarti keduanya dilarang untuk saling menunggu satu sama lainnya, sehingga orang kafir bisa masuk Islam dan kembali dihalalkan berhubungan.

  • Potongan ayat “Wa lā junāḥa ‘alaikum an tan-kiḥūhunna idzā ātaitumūhunna ujūrahunna” (Tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya) ditujukan kepada orang-orang Islam untuk memberikan keringanan supaya menikahi wanita-wanita berhijrah. Maksudnya adalah wanita yang menyatakan ketidak inginan kembali pada suami-suami yang kafir, dan suami melepaskannya. Hal ini dilakukan setelah habisnya masa iddah dan atas pilihannya sendiri.

  • Sementara potongan ayat “Wa lā tumsikū bi’ishamil-kawāfir” (Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita kafir) mengandung makna larangan untuk tetap melangsungkan pernikahan dengan wanita kafir dan bergantung padanya, sedangkan dia tetap dalam kekafiran. Ayat ini bukan menjelaskan larangan menunggu agar masuk Islam dan kemudian kembali berpegang pada akad pernikahan pertamanya.

Dari berbagai pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa mengenai hubungan pernikahan dengan pasangan yang kafir (non-Muslim), ada yang berpendapat bahwa pernikahan tetap bisa diteruskan sambil menunggu pasangannya masuk Islam. Namun, ada pula yang berpendapat agar segera mengakhiri pernikahan tersebut. Adapun keputusannya dapat disesuaikan dengan kondisi rumah tangga masing-masing, sebisa mungkin memilih jalan yang paling maslahat dan menghindari jalan yang membawa pada keburukan. Wallahu a’lam.

Advertisement
Mureks