Menunaikan ibadah secara tepat waktu kerap menjadi tantangan bagi Muslim yang sedang melakukan perjalanan jauh. Dalam kondisi safar, keterbatasan waktu, tempat, dan situasi sering membuat pelaksanaan ibadah tidak bisa dilakukan secara sempurna seperti saat bermukim. Namun, Islam sebagai agama yang penuh rahmat tidak menjadikan perjalanan sebagai alasan untuk meninggalkan kewajiban. Sebaliknya, syariat memberikan berbagai keringanan (rukhshah) bagi musafir.
Keringanan ini mencakup sholat qashar, jamak, qadha, sholat di atas kendaraan, hingga keringanan dalam bersuci, sholat Jumat, dan puasa Ramadan. Seluruh keringanan ini ditegaskan dalam Al-Qur’an, hadis Nabi Muhammad SAW, serta penjelasan para ulama dalam kitab-kitab fikih safar.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Konsep Keringanan (Rukhshah) dalam Safar
Melansir buku Silsilah Tafsir Ahkam: QS. An-Nisa: 43 (Larangan Atas Junub dan Fiqih Safar) tulisan Isnan Ansory, Lc., MAg, para ulama sepakat bahwa safar merupakan salah satu sebab di antara sebab-sebab bolehnya seorang muslim mengambil keringanan (rukhshoh) di dalam beberapa amal ibadahnya.
Jenis-jenis Keringanan Ibadah bagi Musafir
1. Sholat Qashar
Qashar adalah meringkas sholat yang semula empat rakaat menjadi dua rakaat, berlaku untuk Dzuhur, Ashar, dan Isya. Keringanan ini tidak berlaku untuk sholat Subuh dan Maghrib. Mengutip buku Keistimewaan Shalat Khusyuk karya Subhan Nurdin, disebutkan bahwa saat safar kita diperbolehkan untuk mengqashar sholat yang asalnya empat rakaat seperti sholat Dzuhur, Ashar dan Isya. Kecuali sholat Subuh dan Maghrib tidak ada syari’at qashar sholat.
Hal ini juga dijelaskan dalam surah An Nisa ayat 101:
وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِى ٱلْأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَقْصُرُوا۟ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنْ خِفْتُمْ أَن يَفْتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ ۚ إِنَّ ٱلْكَٰفِرِينَ كَانُوا۟ لَكُمْ عَدُوًّا مُّبِينًا
Arab-Latin: Wa iżā ḍarabtum fil-arḍi fa laisa ‘alaikum junāḥun an taqṣurụ minaṣ-ṣalāti in khiftum ay yaftinakumullażīna kafarụ, innal-kāfirīna kānụ lakum ‘aduwwam mubīnā
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Para ulama menyebutkan bahwa qashar hanya bisa dilakukan jika seseorang benar-benar dalam keadaan safar dengan jarak tertentu. Mayoritas ulama seperti Imam Malik, Asy-Syafi’i, dan Ahmad bin Hanbal menetapkan jarak minimal safar sekitar 88 km, berdasarkan ukuran 4 burud, sebagaimana disebut dalam hadits Ibnu Abbas:
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian mengqashar sholat bila kurang dari 4 burud, dari Makkah ke Usfan.” (HR Ad-Daruquthni)
2. Sholat Jamak
Sholat jamak adalah menggabungkan dua sholat fardu dalam satu waktu pelaksanaan. Hanya dua pasang waktu sholat yang bisa dijamak, yaitu Dzuhur dengan Ashar, serta Maghrib dengan Isya. Penggabungan ini dilakukan dengan dua cara: jamak taqdim, yaitu dilakukan di waktu sholat pertama, dan jamak ta’khir, yaitu dilakukan di waktu sholat kedua.
Keringanan ini diberikan kepada orang yang sedang dalam perjalanan (safar), dengan syarat yang hampir sama dengan sholat qashar, yaitu sudah berniat safar, benar-benar keluar dari tempat tinggal, dan jarak perjalanannya mencapai batas minimal yang ditentukan para ulama.
Hal ini didasarkan pada hadits berikut ini:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ، قَالَ: «كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَرَ الظُّهْرَ إِلَى وَقْتِ العَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ رَكِبَ» (متفق عليه)
“Dari Anas bin Malik ra, ia berkata: Nabi SAW, jika berpergian sebelum matahari tergelincir, beliau mengakhirkan sholat Dzuhurnya sampai waktu Ashar. Kemudian beristirahat dan menjamak kedua sholat tersebut (Dzuhur dan Ashar)”. (HR Muslim)
3. Sholat Qadha
Sholat qadha berarti mengganti waktu sholat yang terlewat. Sholat yang tidak dikerjakan pada waktunya wajib diganti atau diqadha. Qadha berlaku bagi siapa saja yang meninggalkan sholat karena uzur syar’i, seperti perang, perjalanan, sakit, atau tertidur.
Rasulullah SAW sendiri pernah tidak melaksanakan empat waktu sholat dalam Perang Khandaq, lalu beliau mengqadha semuanya begitu memungkinkan. Bagi wanita yang haid atau nifas, tidak ada kewajiban qadha untuk sholat yang ditinggalkan selama masa haid itu. Namun jika suci dan waktu sholat masih tersisa, ia wajib sholat. Dalam situasi tertentu seperti tidak ada air dan tanah (untuk bersuci), atau sedang di atas kendaraan yang tidak memungkinkan sholat, maka qadha dapat menjadi solusi. Bahkan jika seseorang tertidur atau lupa, ia tetap wajib mengqadha. Nabi SAW juga pernah tertidur hingga melewatkan sholat Subuh, lalu menunaikannya setelah bangun.
4. Keringanan dalam Ritual Bersuci (Mengusap Khuf)
Para ulama sepakat bahwa syariat telah memberikan keringanan bagi musafir untuk mengusap khufnya (sepatu) saat berwudhu selama masa waktu tiga hari, sebagai pengganti dari membasuh kedua kaki. Keringan ini didasarkan kepada hadits berikut:
عَنْ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ قَالَ : جَعَلَ النَّبِيُّ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ، وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ. يَعْنِي فِي الْمَسْحِ عَلَى الْخُفَّيْنِ. (أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ)
“Dari Ali bin Abi Thalib ra, ia berkata: Nabi SAW menetapkan tiga hari tiga malam untuk musafir dan sehari semalam untuk orang yang menetap, yakni dalam hal mengusap dua khuf.” (HR. Muslim)
5. Gugurnya Kewajiban Sholat Jumat
Para ulama juga sepakat bahwa syariat telah memberikan keringanan bagi musafir untuk tidak wajib melakukan sholat Jum’at, namun tetap diganti dengan sholat Dzuhur. Meski demikian, jika musafir tetap melakukan sholat jum’at, sholatnya tetap dinilai sah dan tidak mesti melakukan Sholat Dzuhur. Dalam arti lain, musafir diberikan keringanan untuk memilih antara melakukan sholat Jum’at atau sholat Dzuhur.
Keringanan ini didasarkan pada hadits berikut ini:
عَنْ جَابِرٍ ، أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَعَلَيْهِ الْجُمُعَةُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ إِلَّا مَرِيضٌ أَوْ مُسَافِرٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِيٌّ أَوْ مَمْلُوكٌ، فَمَنِ اسْتَغْنَى بِلَهْوِ أَوْ تِجَارَةٍ اسْتَغْنَى اللَّهُ عَنْهُ وَاللَّهُ غَنِيٌّ حَميدٌ» (رواه ابن عدى والدارقطني والبيهقي والبزار)
“Dari Jabir ra: Rasulullah SAW bersabda: Siapapun yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, maka wajib atasnya mendirikan sholat Jum’at di hari Jum’at, kecuali atas orang yang sakit, musafir, wanita, anak belum baligh, atau hamba sahaya. Dan bagi siapapun yang saat shalat jum’at terlena dengan permainan dan perniagaan, maka Allah tidak membutuhkannya dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.” (HR. Ibnu Adi, Daruquthni, Baihaqi, dan Bazzar)
6. Diperbolehkan Sholat di Atas Kendaraan
Para ulama juga sepakat bahwa syariat telah memberikan keringanan bagi musafir untuk melakukan sholat di atas kendaraan atau tunggangannya, sekalipun sampai meninggalkan beberapa syarat dan rukun sholat seperti menghadap kiblat, berdiri, rukuk dan sujud.
Hanya saja, keringanan yang diberikan akan berbeda tergantung kepada jenis sholat yang dilakukan, yaitu antara sholat fardhu dan sholat sunnah. Jika sholat yang dilakukan adalah sholat fardhu, maka wajib untuk diqadha setelah dalam kondisi bisa melakukan sholat secara sempurna. Adapun sholat di atas kendaraan yang dilakukan tidak secara sempurna sebagian rukun dan syaratnya, maka sholat itu disebut dengan sholat dalam rangka memuliakan waktu sholat atau diistilahkan dalam fiqih dengan sebutan sholat li hurmatil waqti. Sedangkan jika sholat yang dilakukan adalah sholat sunnah, maka tidak ada kewajiban untuk mengqadha’nya.
7. Keringanan Tidak Berpuasa Ramadan
Para ulama sepakat bahwa seorang yang dalam perjalanan (musafir), mendapatkan keringanan untuk tidak berpuasa Ramadhan, berdasarkan ayat al-Qur’an.
Allah SWT berfirman dalam surah Al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَٰتٍ مِّنَ ٱلْهُدَىٰ وَٱلْفُرْقَانِ ۚ فَمَن شَهِدَ مِنكُمُ ٱلشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا۟ ٱلْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا۟ ٱللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَىٰكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
Arab-Latin: Syahru ramaḍānallażī unzila fīhil-qur`ānu hudal lin-nāsi wa bayyinātim minal-hudā wal-furqān, fa man syahida mingkumusy-syahra falyaṣum-h, wa mang kāna marīḍan au ‘alā safarin fa ‘iddatum min ayyāmin ukhar, yurīdullāhu bikumul-yusra wa lā yurīdu bikumul-‘usra wa litukmilul-‘iddata wa litukabbirullāhu ‘alā mā hadākum wa la’allakum tasykurụn
Artinya: (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.
Berbagai keringanan ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang memudahkan umatnya, bahkan dalam kondisi sulit seperti perjalanan jauh, agar ibadah tetap dapat ditunaikan sesuai syariat.






