Pengalaman kehilangan barang berharga seperti motor atau ponsel kerap menimbulkan rasa cemas. Namun, bagi sebagian anak muda, proses pelaporan kehilangan di kantor polisi justru menambah beban emosional. Tiga kisah dari Faldy (20), Aya (19), dan Axel (19) menggambarkan bagaimana antrean panjang, proses yang lambat, dan minimnya kepastian membuat laporan kehilangan berubah menjadi pengalaman yang menguras tenaga dan kesabaran.
Bagi Faldy, motor yang hilang akibat dibegal adalah pukulan berat. Harapannya untuk segera diproses di kantor polisi pupus saat disambut ruang tunggu yang penuh sesak. “Pada hari itu emang banyak banget sih yang kehilangan barang… Ada motor, ada handphone gitu-gitu sih. Dan emang nunggunya cukup lama banget di situ,” ungkap Faldy.
Dokumen yang dibutuhkan sebetulnya sederhana: KTP, Kartu Keluarga, dan surat kendaraan. Namun, proses administrasi yang seharusnya singkat berubah menjadi berjam-jam. Antrean panjang, jeda istirahat petugas, membuat Faldy yang sedang bekerja merasa terganggu. “Gue jam 9 atau 10-an ke Polsek, itu baru diproses gue-nya sekitar jam 1 apa jam 2 gitu… karena mereka ada break makan siang dulu… dan itu jujur gue lagi kerja jadi agak ngeganggu banget,” keluhnya.
Setelah diproses, Faldy diminta kembali dua hari kemudian untuk mendengar perkembangan. Namun, jawaban yang diterima selalu sama: “Belum ketemu.” Ia merasa tidak efisien karena harus datang kembali hanya untuk mendapatkan informasi yang sama. “Kenapa enggak by WhatsApp aja? Itu kan jadi enggak efisien waktu gue,” ujarnya heran. Setelah dua bulan tanpa perkembangan, Faldy memilih merelakan motornya.
Laporan Kehilangan Dianggap Sebelah Mata
Aya (19) merasakan hal serupa ketika motor adiknya hilang. Kendaraan tersebut merupakan alat transportasi utama untuk sekolah. “Itu benar-benar diperluin banget dan harus diusut tuntas,” ujarnya.
Namun, ekspektasi tersebut runtuh melihat respons petugas. “Untuk kasus hilang motor itu kayak enggak terlalu jadi poin penting… agak lambat gitu dan hasilnya motor adik aku enggak balik,” kata Aya. Ia merasa laporannya disepelekan, ditambah ekspresi datar aparat yang seolah menganggap kehilangan kendaraan adalah kasus kecil.
“Kayak… ‘iya, tenang saja kita bakal usut,’ tapi ya udah gitu loh. Ngerti kan?” imbuh dia. Sebagai pelapor, Aya menginginkan kepastian, namun yang dirasakannya justru sebaliknya.
Prosedur Pelaporan yang Menguras Energi
Berbeda dengan Faldy dan Aya yang menyoroti lambatnya proses, Axel (19) justru merasakan panjangnya prosedur. Ia kehilangan tiga ponsel sekaligus bersama teman-temannya. Beruntung, mereka berhasil melacak pelaku.
Namun, proses administrasi pelaporan di kantor polisi memakan waktu hingga dini hari. “Dari jam 11 malam sampai sekitar subuh… ceritain kronologi, tanda tangan ini itu, dan menunggu ini itu,” ujar Axel. Ia mengakui prosesnya transparan, tetapi sangat menguras energi.
Axel menduga panjangnya birokrasi disebabkan oleh banyaknya berkas dan surat yang harus dilaporkan ke tingkat yang lebih tinggi. “Mungkin karena banyak berkas, surat ini itu, polisi harus lapor ke atasnya… nunggu persetujuan…” katanya. Satu laporan kehilangan bisa menghabiskan satu hari penuh.
Harapan Perbaikan Layanan
Meskipun lelah, ketiganya sepakat bahwa layanan pelaporan kehilangan perlu dibenahi. Faldy menekankan pentingnya keadilan dan efisiensi. Ia berharap update informasi dapat dilakukan secara daring, misalnya melalui email atau WhatsApp. “Enggak semua orang punya waktu… update by emailatau WhatsApp enggak apa-apa banget,” kata Faldy.
Aya menambahkan bahwa digitalisasi akan sangat membantu mengurangi bolak-balik ke kantor polisi. “Bakal membantu… jadi kita enggak harus bolak-balik,” ujarnya.
Axel menyetujui digitalisasi, namun ia menekankan bahwa aplikasi pelaporan harus matang. “Kalau enggak matang, malah tambah ribet,” kata Axel.
Perbedaan reaksi muncul terkait pengalaman mereka. Faldy mengaku kehilangan kepercayaan karena proses yang panjang dan minim kepastian. Aya bersikap fifty-fifty, masih akan melapor jika mendesak. Sementara Axel tidak kapok karena ponselnya berhasil kembali.
Namun, kesamaan dari ketiga cerita ini adalah harapan awal yang sama: diproses cepat. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya, yakni proses panjang yang melelahkan. Barang hilang mungkin bisa diganti, tetapi rasa percaya terhadap institusi pelindung masyarakat bisa terkikis jika proses pelaporan saja sudah membuat jera.






