Nasional

Bukan Berhenti, Tapi Pulih: Kisah Mahasiswa UNS Redakan Burnout di Rumah Keluarga Ngawi

Solo, Kamis 1 Januari 2026 – Hiruk pikuk Kota Solo kerap menyeret Anggid Ardha Tri Pangestu, seorang mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS), dalam pusaran aktivitas yang tak berkesudahan. Jadwal harian Anggid dipenuhi kuliah, tumpukan tugas, rapat organisasi, hingga kepanitiaan yang tak jarang membuatnya harus tetap berada di kampus meski kalender menunjukkan hari libur.

Awalnya, Anggid mengaku menikmati setiap kesibukan tersebut, merasa produktif dan dibutuhkan. Namun, seiring waktu, intensitas kegiatan yang datang bersamaan perlahan mengikis rasa suka itu, menggantinya dengan kelelahan yang sulit diuraikan. Fenomena burnout, atau kelelahan ekstrem, mulai merayap tanpa disadari.

Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!

Rapat dan tenggat waktu berjalan beriringan, sementara tugas kuliah terus berdatangan. Notifikasi grup bahkan tetap muncul meski hari sudah berganti. Anggid kerap pulang sore dengan energi fisik yang terkuras habis, namun pikirannya masih ramai memikirkan hal-hal yang belum selesai.

Ketika libur tiga hari tiba, Anggid mencoba memulihkan diri dengan berdiam di kos. Ia berharap istirahat total, rebahan lebih lama, menutup laptop, dan tidur puas akan mengembalikan energinya. Namun, saat terbangun, rasa lelah itu tak kunjung sirna. ‘Badanku beristirahat tetapi pikiranku masih tertinggal di kampus, di ruang rapat, dan di daftar pekerjaan yang rasanya tidak pernah habis,’ ujarnya, menggambarkan kondisi batinnya yang tak tenang.

Melihat sisa libur yang hanya dua hari, Anggid justru merasa semakin sesak. Ia mencoba meyakinkan diri untuk bertahan di Solo, namun bisikan hati semakin kuat: ia butuh pulang. Keputusan itu muncul sederhana, hampir seperti bisikan, ‘besok sore pulang ke rumah’.

Anggid menegaskan, kepulangannya bukan untuk melarikan diri dari tugas atau tanggung jawab. Rapat organisasi, kepanitiaan, dan tugas kuliah tetap menanti. Ia membawa serta laptop, catatan, dan pekerjaan yang bisa diselesaikan dari rumah. ‘Aku pulang bukan untuk berhenti, aku pulang supaya bisa menjalani semuanya dengan lebih tenang dari tempat yang rasanya bisa memulihkan sesuatu di dalam diri,’ jelasnya.

Perjalanan Pulang dan Ketenangan di Ngawi

Keesokan sore, Anggid memulai perjalanan dua jam dari Solo menuju Kabupaten Ngawi dengan sepeda motor. Sepanjang perjalanan, angin dingin berhembus, namun pemandangan hamparan sawah hijau yang mulai muncul di kanan-kiri jalan, jalan desa yang semakin sepi, dan langit yang terasa lebih lapang, perlahan melonggarkan beban di kepalanya. Menurut pantauan Mureks, fenomena ini sering dialami individu yang mencari ketenangan dari hiruk pikuk perkotaan.

Setibanya di rumah, suara motor Anggid memecah kesunyian jalan desa. Sebelum mesin benar-benar mati, suara hangat dari dalam rumah menyambutnya, ‘eh, sudah sampai yaaa’ atau sekadar panggilan namanya yang sederhana namun penuh kehangatan. Pintu terbuka, dan pertanyaan yang selalu sama namun menenangkan menyambutnya: ‘Gimana tadi perjalanannya?’ ‘Pasti capek kan?’ ‘Udah makan belum?’ Di sela pertanyaan itu, senyuman keluarga seolah menegaskan, ‘kamu pulang’.

Di rumah, Anggid menaruh barang-barang dan duduk mengobrol hal-hal kecil yang tak penting, namun mampu meringankan dadanya. Setelah makan bersama, ia mandi. Saat air menyentuh kulitnya, ia merasa seolah melepaskan semua beban yang menempel dari minggu yang panjang di Solo.

Setelah itu, ia kembali membuka laptop, membalas pesan organisasi, mengerjakan tugas, dan menyusun hal-hal yang belum selesai. Namun, kali ini rasanya berbeda. Bukan karena tugasnya lebih mudah, melainkan karena di rumah ia mengerjakannya tanpa rasa sendirian. Ketenangan yang didapat membuat beban terasa lebih sunyi, sehingga saat menutup laptop, ia tidak lagi merasa bersalah atau tertinggal.

Malam harinya, Anggid tidur di kasur kamar yang selama ini dirindukannya. Di sanalah ia memahami sebuah kebenaran sederhana: kos bisa mengistirahatkan badan, tetapi rumah memulihkan batin. Inilah alasan ia rela pulang meski hanya dua atau tiga hari, bukan untuk berhenti bekerja, melainkan agar bisa menjalani semuanya dengan lebih ‘waras’.

Meski libur singkat dan ia harus kembali ke Solo, Anggid pulang membawa energi yang lebih utuh, kepala yang lebih rapi, dan semangat yang kembali hidup. Ia menyadari, kepulangannya bukan untuk berhenti, melainkan untuk pulih.

Mureks