Anggota Komisi VII DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, menyoroti kebijakan pemerintah membatasi operasional truk sumbu tiga selama periode Natal dan Tahun Baru (Nataru). Menurutnya, kebijakan ini berpotensi besar meningkatkan biaya logistik dan mengancam target pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 8%.
Bambang menjelaskan, pembatasan tersebut memiliki dampak luas terhadap multiplier ekonomi. Industri, yang beroperasi secara berkelanjutan, tidak mengenal periode berhenti, termasuk saat pembatasan lalu lintas diberlakukan. Sektor transportasi yang terkait dengan ekspor dan impor juga akan merasakan dampak langsung. Jika distribusi logistik terhambat, ia memperingatkan adanya risiko demurrage atau denda keterlambatan kapal di pelabuhan, yang dapat merusak reputasi logistik Indonesia di mata internasional.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
“Dampak berikutnya adalah kenaikan biaya logistik. Ketika pengangkutan terhambat, harga barang akan naik dan ini berujung pada inflasi,” ungkap Bambang dalam keterangan tertulisnya, Sabtu (27/12/2025).
Ia membandingkan kebijakan transportasi Indonesia dengan sejumlah negara lain seperti China, Jepang, dan Malaysia. Di negara-negara tersebut, angkutan logistik tidak dihentikan meskipun berada pada periode libur panjang, mengingat peran vital logistik dalam menjaga kelangsungan industri dan stabilitas ekonomi.
“Logistik itu tidak mengenal libur Lebaran atau Nataru, mereka harus tetap berjalan. Kalau dihentikan, dampaknya sangat besar terhadap ekonomi,” jelasnya.
Menurut Bambang, pembatasan kendaraan logistik justru menimbulkan masalah baru berupa penumpukan barang setelah kebijakan dicabut. Kondisi ini akan memicu kekurangan armada transportasi, yang pada akhirnya mendorong biaya angkut menjadi semakin mahal.
“Sudah ekonominya terhambat, ketika dibuka malah ongkos transportasinya melonjak. Inilah yang akhirnya dirasakan masyarakat, baik di dalam negeri maupun internasional, bahwa logistik Indonesia menjadi mahal karena salah kebijakan,” tegasnya.
Bambang meminta pemerintah dan aparat keamanan untuk lebih peka dalam menerapkan aturan. Ia berpendapat bahwa kepadatan ekstrem di sejumlah titik dapat diurai tanpa perlu melakukan pembatasan. Pengaturan lalu lintas, menurutnya, bisa dilakukan pada jalan-jalan alternatif, seperti di jalur selatan Jawa yang tingkat keterisian kendaraannya atau load factor tidak lebih dari 5%.
Selain itu, Bambang menyarankan agar pemerintah mendorong masyarakat untuk melakukan perjalanan lebih awal dengan menurunkan tarif transportasi publik secara signifikan, bahkan hingga 50%, jauh sebelum hari puncak. Ia mengkritik praktik yang justru menaikkan tarif mendekati hari H, yang seharusnya dilakukan sebaliknya agar pergerakan masyarakat terdistribusi secara merata.
Bambang menambahkan, kebijakan yang ada saat ini merupakan “satu kebodohan dalam pengelolaan transportasi”. Diskon seharusnya diberikan jauh sebelum hari puncak untuk mendorong masyarakat mudik lebih awal dan menghindari kepadatan ekstrem.
“Yang terjadi sekarang justru sebaliknya. Mendekati hari H, transportasi publik malah digratiskan, jalan tol didiskon, kapal dan pesawat juga diberi potongan harga. Akibatnya, semua orang menumpuk di hari H,” pungkasnya.






