Nasional

Anjloknya Nilai TKA 2025: Cerminan Kegagalan Sistem Pendidikan, Bukan Hanya Siswa

Hasil Tes Kemampuan Akademik (TKA) Nasional 2025 yang baru saja dirilis pada Rabu, 31 Desember 2025, memicu kekhawatiran serius di kalangan pegiat pendidikan. Dengan rata-rata nilai Matematika hanya 36,10 dan Bahasa Inggris yang lebih rendah lagi, 24,93, data ini bukan sekadar cerminan kemampuan siswa, melainkan indikasi kuat adanya persoalan mendasar dalam sistem pengajaran di kelas.

Kurikulum yang Berubah-ubah dan Beban Administrasi Guru

Persoalan ini, menurut Yana Karyana, Ketua DPP Persaudaraan dan Kemitraan Pesantren (PK-Tren) Indonesia, berlapis dan saling terkait. Salah satunya adalah dinamika kurikulum yang terus berganti. “Setiap ganti menteri, ganti pula gaya kurikulumnya,” ujar Yana. Ia menyoroti bagaimana kurikulum terus berubah nama, format, dan istilah, namun substansi pembelajaran justru jalan di tempat. Guru dan siswa disebut kelelahan beradaptasi, sementara pemahaman konsep dasar tak kunjung kuat. “Istilahnya keren, ‘Capaian Pembelajaran’, ‘Modul Ajar’, tapi apa untungnya kalau waktu habis untuk form, bukan memperdalam logika?” kritiknya.

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Kondisi ini, lanjut Yana, sejalan dengan teori pendidikan Lev Vygotsky yang menyatakan bahwa belajar baru bermakna jika ada interaksi yang mendorong penalaran. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kelas lebih sering menjadi tempat mengeksekusi format administratif daripada mendiskusikan konsep secara mendalam. “Kita sibuk di atas kertas, tapi kosong di ruang kelas,” tegasnya.

Selain kurikulum, guru juga terjepit beban administrasi yang kian menumpuk. Evaluasi kinerja berbasis aplikasi, laporan digital, serta kewajiban mengunggah berbagai dokumen, semuanya menyita waktu berharga para pendidik. “Di atas kertas itu ‘akuntabilitas’. Di lapangan, guru jadi buruh data yang kehilangan tenaga untuk mengajar,” ungkap Yana. Ia mengutip riset John Hattie yang secara tegas menyatakan bahwa faktor paling memengaruhi keberhasilan belajar adalah kualitas interaksi guru dengan murid, bukan sekadar rapor administrasi.

Motivasi Siswa yang Tergerus dan Ironi Kebijakan

Dampak anjloknya nilai TKA juga tak lepas dari motivasi siswa. Yana Karyana menjelaskan, menurut teori Bernard Weiner, siswa akan berusaha maksimal jika ada hubungan jelas antara upaya dan hasil. Namun, TKA tidak dihitung untuk kelulusan atau seleksi sekolah, sehingga banyak siswa menganggapnya sebagai formalitas belaka. “Tesnya nasional, tapi urgensinya lokal: nol,” kritiknya.

Ironi kebijakan semakin terlihat ketika pemerintah menginginkan data berkualitas untuk laporan internasional, termasuk perbandingan dengan PISA, namun di sisi lain siswa diminta untuk tidak terlalu serius menghadapi TKA karena hasilnya tidak berdampak langsung pada kelulusan mereka. “Kita ingin angka tinggi, tapi menciptakan sistem yang tidak mendorong keseriusan. Kontradiktif? Ya, banget,” tegas Yana.

Ketimpangan fasilitas pendidikan juga memperparah kondisi. Sekolah di perkotaan sudah membahas kecerdasan buatan (AI), coding, dan metaverse, sementara sekolah di wilayah 3T (Terdepan, Terluar, Tertinggal) masih bergulat dengan ketersediaan listrik dan buku. “Standar sama, fasilitas beda, tapi nilai diukur serempak. Wajar kalau hasil nasional jadi timpang,” ujarnya.

Rapor Sistem Pendidikan yang Kehilangan Daya

Dengan demikian, anjloknya nilai TKA 2025 bukan sekadar rapor bagi siswa, melainkan rapor bagi sistem pendidikan secara keseluruhan. Yana Karyana menegaskan, “Bukan semata anak-anak kita yang belum mampu, tapi kelas-kelas kita yang kehilangan daya mengajar.” Ia berpendapat bahwa masalah ini tidak akan terselesaikan hanya dengan istilah baru, aplikasi baru, atau slogan baru.

Solusi yang dibutuhkan, menurutnya, adalah stabilitas kurikulum, waktu bernapas yang cukup bagi guru untuk fokus mengajar, serta sistem evaluasi yang benar-benar dihargai dan memotivasi siswa. “Karena kalau nilai terus anjlok, bukan murid yang pertama kali harus kita salahkan,” pungkas Yana. Ia menutup dengan pertanyaan reflektif: “Ada yang salah di kelas atau ada yang salah dengan cara kita mengurus kelas?”

Mureks