Anggota Komisi IV DPR RI, Rajiv, mendesak pemerintah pusat dan daerah untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap seluruh izin yang telah diterbitkan terkait aktivitas wisata, pertambangan, serta alih fungsi lahan di kawasan Bandung Raya, Jawa Barat. Menurutnya, persoalan lingkungan yang terjadi di wilayah tersebut bukan lagi sekadar fenomena alam biasa, melainkan akumulasi dari kebijakan perizinan yang dinilai tidak disiplin secara ekologis.
Evaluasi Menyeluruh Diperlukan
“Evaluasi total diperlukan agar tidak ada lagi aktivitas yang bertentangan dengan fungsi ekologis kawasan,” ujar Rajiv dalam keterangan tertulisnya pada Sabtu (13/12/2025).
Rajiv menyoroti maraknya alih fungsi lahan di Bandung Raya yang telah menggeser peran lahan pertanian dan kawasan hijau menjadi area terbangun. Perubahan ini, secara ilmiah, berdampak pada penurunan kapasitas infiltrasi air dan peningkatan limpasan permukaan.
“Dalam jangka panjang, wilayah ini akan menghadapi paradoks ekologis. Kerusakan lingkungan di wilayah hulu akan berdampak langsung pada kawasan hilir, mulai dari banjir, longsor hingga krisis air bersih,” jelasnya.
Lemahnya Pengawasan AMDAL
Lebih lanjut, Rajiv mengungkapkan bahwa pengawasan terhadap pelaksanaan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) masih tergolong lemah. Ia menemukan masih banyak izin yang diterbitkan tanpa melalui kajian lingkungan yang komprehensif.
“AMDAL yang hanya bersifat administratif tanpa pengawasan implementasi di lapangan,” tambahnya.
Untuk itu, Rajiv mendorong kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan sinkronisasi data perizinan. Sinkronisasi ini mencakup izin pariwisata berbasis alam, kegiatan pertambangan, serta perubahan peruntukan lahan yang berpotensi melanggar rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan kawasan lindung.
“Pembangunan boleh berjalan, tetapi harus sejalan dengan kemampuan alam dan tata ruang yang telah ditetapkan. Pembangunan yang kuat adalah pembangunan yang berpijak pada keberlanjutan,” tegasnya.
Prinsip Pencegahan dan Kehati-hatian
Rajiv juga mengingatkan bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup telah mengamanatkan prinsip pencegahan dan kehati-hatian.
“Negara tidak boleh menunggu kerusakan terjadi baru bertindak. Evaluasi izin harus menjadi langkah korektif untuk mencegah kerusakan yang lebih luas dan permanen,” pungkasnya.
Dalam konteks pembangunan nasional, Rajiv menegaskan penguatan tata kelola sumber daya alam merupakan bagian penting dari visi Asta Cita Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, khususnya dalam menjaga kedaulatan lingkungan dan ketahanan wilayah.
“Pembangunan harus berpijak pada kehati-hatian. Ketika ruang sudah rusak, biaya pemulihannya jauh lebih mahal daripada keuntungan ekonomi sesaat,” tutupnya.





