Keuangan

Ahmad Nasrudin: “Target Utang Rp 781,9 T Berisiko Tekan Fiskal 2026”

Advertisement

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto berencana menarik utang baru senilai Rp 781,87 triliun pada tahun 2026. Rencana ambisius ini tertuang dalam Buku II Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026, memicu kekhawatiran dari sejumlah analis terkait potensi tekanan fiskal.

Menurut dokumen tersebut, pembiayaan utang pada RAPBN 2026 akan dipenuhi melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) dan penarikan pinjaman. Dari total target, porsi terbesar berasal dari SBN, yang mencakup Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk, dengan nilai mencapai Rp 749,19 triliun. Angka ini menunjukkan peningkatan signifikan dibandingkan outlook tahun 2025.

Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.

Sementara itu, pembiayaan melalui pinjaman (neto) pada 2026 direncanakan sebesar Rp 32,67 triliun, angka yang justru menurun drastis hingga 74,9% dari proyeksi tahun 2025.

Analis Peringatkan Beban Fiskal dan Tekanan Yield SBN

Menanggapi rencana tersebut, analis pendapatan tetap PT Pemeringkat Efek Indonesia (PEFINDO), Ahmad Nasrudin, mengungkapkan bahwa besarnya target pembiayaan utang berpotensi menambah tekanan pada fiskal negara. Ia memproyeksikan beban fiskal pada 2026 akan semakin berat.

“Porsi terbesar pembiayaan berasal dari penerbitan SBN neto sebesar Rp 749,2 triliun, sementara sisanya Rp 32,7 triliun dari pinjaman. Target penerbitan SBN yang besar ini berisiko menambah beban bunga utang dan mempersempit ruang fiskal, terutama karena defisit anggaran sebelumnya telah melebar hingga 2,78% dari PDB,” ujar Ahmad kepada Investor Daily, Senin (22/12/2025).

Advertisement

Ahmad menambahkan, tingginya target pembiayaan utang akan menuntut penyerapan SBN dalam volume besar oleh pasar domestik. Hal ini diperlukan untuk menutup defisit anggaran sekaligus membiayai utang jatuh tempo. Kondisi ini, menurutnya, berpotensi menahan penurunan imbal hasil (yield) SBN.

“Pasokan SBN yang masif berisiko membuat yield tetap kaku di level tinggi, meskipun terdapat tren pelonggaran moneter global dan domestik,” kata Ahmad.

Ia juga menegaskan bahwa dominasi pasokan SBN di pasar likuiditas tidak hanya menantang stabilitas fiskal, tetapi juga berpotensi membatasi penurunan biaya dana sektor korporasi. Ini terjadi akibat ketatnya persaingan memperebutkan likuiditas dari investor institusi.

Advertisement
Mureks