Nasional

Wacana Pilkada oleh DPRD: Ketika Efisiensi Mengorbankan Hak Suara Rakyat dan Akuntabilitas Demokrasi

Advertisement

Wacana pengembalian pemilihan kepala daerah (Pilkada) ke tangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mencuat ke permukaan. Dalih yang diusung pun terdengar familiar: Pilkada langsung dinilai mahal, rawan konflik, dan dianggap tidak efisien. Dalam narasi ini, demokrasi seolah-olah diposisikan sebagai beban anggaran, sementara efisiensi diangkat sebagai solusi utama.

Namun, di balik argumen efisiensi tersebut, muncul pertanyaan mendasar yang patut direnungkan: jika nantinya DPRD yang memilih kepala daerah, lantas apa sebenarnya peran dan posisi rakyat dalam sistem demokrasi kita?

Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!

Pilkada Langsung: Koreksi Demokrasi Pasca-Reformasi

Sejak era Reformasi, Pilkada langsung bukan sekadar prosedur elektoral semata. Ia merupakan koreksi fundamental terhadap praktik lama yang cenderung elitis dan tertutup. Melalui mekanisme ini, rakyat diberikan ruang yang konkret untuk menentukan pemimpinnya sendiri, sekaligus instrumen untuk menagih janji dan pertanggungjawaban dari para kepala daerah terpilih.

Oleh karena itu, langkah memindahkan kembali Pilkada ke DPRD tidak bisa hanya dibaca sebagai perubahan teknis belaka. Ini adalah pergeseran arah demokrasi yang sangat signifikan.

Dari Bilik Suara ke Ruang Rapat: Pergeseran Mandat Rakyat

Dalam kerangka kontrak sosial, sebagaimana pernah dirumuskan oleh filsuf Jean-Jacques Rousseau, kedaulatan sejatinya berada di tangan rakyat dan hanya didelegasikan melalui kehendak umum. Pilkada langsung memberikan bentuk konkret pada prinsip tersebut, di mana rakyat secara langsung memilih dan kemudian menilai kinerja pemimpinnya.

Ketika Pilkada dialihkan ke DPRD, relasi ini akan berubah drastis. Mandat rakyat menjadi berlapis dan tidak lagi langsung. Kepala daerah tidak lagi berhadapan langsung dengan pemilih, melainkan dengan fraksi-fraksi partai politik di parlemen daerah. Dalam logika teori agensi, semakin panjang rantai mandat, semakin besar pula peluang terjadinya moral hazard. Akuntabilitas kepada publik pun akan melemah, sementara ketergantungan pada elite politik justru menguat.

Menguatnya Oligarki dan Dalih Efisiensi yang Patut Dicermati

Wacana pengembalian Pilkada ke DPRD juga berpotensi menguatkan tesis klasik Robert Michels tentang Iron Law of Oligarchy, yaitu kecenderungan kekuasaan untuk terkonsentrasi pada segelintir orang. Kali ini, kecenderungan tersebut tidak lagi disamarkan, melainkan justru dilegalkan melalui desain institusional yang baru.

Jika DPRD menjadi penentu Pilkada, politik lokal berisiko tinggi berubah menjadi arena transaksi tertutup. Publik akan kehilangan instrumen kontrol paling mendasar, yakni hak memilih dan menghukum secara elektoral. Demokrasi akan menyempit menjadi urusan internal partai, sementara rakyat direduksi menjadi sekadar penonton.

Dalih efisiensi anggaran pun patut dicurigai. Biaya politik tidak serta-merta hilang ketika Pilkada langsung dihapus. Biaya tersebut hanya berpindah bentuk, dari kampanye terbuka yang bisa diawasi publik menjadi lobi, konsesi, dan kompromi kekuasaan yang jauh lebih sulit untuk diawasi. Dengan demikian, korupsi tidak akan berkurang, melainkan berpotensi menjadi lebih senyap dan tersembunyi.

Advertisement

Kecenderungan ini juga sejalan dengan kritik yang pernah disampaikan oleh Mahfud MD mengenai politik hukum yang elitis. Menurutnya, hukum kerap digunakan untuk menertibkan partisipasi warga, alih-alih untuk membatasi kekuasaan itu sendiri.

Belajar dari Pengalaman Internasional: Memperluas Partisipasi, Bukan Memangkas

Pengalaman internasional justru menunjukkan arah yang sebaliknya. Di Brasil, misalnya, wali kota dan gubernur telah dipilih secara langsung sejak berakhirnya rezim militer. Meskipun biaya politik dan korupsi memang ada, solusi yang diambil bukanlah mencabut hak pilih warga. Reformasi justru diarahkan pada transparansi pendanaan kampanye dan penguatan lembaga pengawas.

Di India, demokrasi lokal bahkan diperluas hingga tingkat desa melalui sistem panchayat. Partisipasi publik dipandang sebagai investasi legitimasi jangka panjang, bukan sekadar beban. Negara-negara yang justru mempersempit partisipasi warganya kerap berhadapan dengan krisis kepercayaan publik yang serius.

Ketika Warga Kehilangan Peran: Dampak pada Kesadaran Kewargaan

Dampak paling serius dari penghapusan Pilkada langsung bukan terletak pada teknis pemilihan semata, melainkan pada kesadaran kewargaan itu sendiri. Pilkada telah menjadi ruang belajar politik yang penting: warga menilai program, mengenali rekam jejak calon, dan merasakan bahwa suara mereka memiliki dampak. Jika ruang ini ditutup, warga akan kembali diposisikan sebagai objek, bukan subjek politik.

Demokrasi memang tidak selalu berjalan rapi dan murah. Namun, partisipasi publik bukanlah beban anggaran, melainkan sebuah investasi sosial yang tak ternilai harganya. Negara yang memilih kenyamanan elite dengan memangkas peran warganya sedang mempertaruhkan legitimasi politiknya sendiri dalam jangka panjang.

Mengembalikan Pilkada ke tangan DPRD mungkin tampak efisien di atas kertas. Namun, biaya sosial dan politiknya jauh lebih mahal dan berjangka panjang. Jika rakyat hanya diminta menonton sementara keputusan paling menentukan diambil di ruang-ruang tertutup, maka persoalannya bukan lagi soal mekanisme pemilihan, melainkan siapa yang sesungguhnya memegang kedaulatan di negeri ini.

Demokrasi memang melelahkan, penuh dinamika dan tantangan. Namun, negara yang takut pada suara warganya sendiri sedang berjalan menjauh dari sumber kekuasaannya yang paling hakiki.

Advertisement
Mureks