Menjelang pergantian tahun, perayaan Tahun Baru Masehi kerap diwarnai dengan berbagai kemeriahan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Pesta kembang api, bunyi terompet, hingga hiburan malam menjadi pemandangan umum. Namun, di tengah euforia tersebut, muncul pertanyaan di kalangan umat Muslim mengenai hukum merayakan momen ini dalam perspektif Islam.
Tradisi perayaan tahun baru Masehi memang tidak dikenal dalam ajaran Islam, sehingga menimbulkan keraguan. Para ulama memiliki beragam pandangan terkait hal ini, mulai dari yang mengharamkan hingga yang membolehkan dengan syarat tertentu.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Sejarah Kalender Masehi dan Penggunaannya dalam Islam
Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam kanal YouTube Tsaqofah TV pernah menjelaskan sejarah dan asal-usul kalender Masehi. Sistem penanggalan ini bermula pada tahun 45 SM ketika Julius Caesar memperkenalkan kalender Julian. Kalender Julian kemudian menjadi dasar bagi sistem penanggalan Masehi modern, dengan penetapan 1 Ianuarius atau Januari sebagai bulan pertama.
Penetapan bulan Januari dilakukan untuk memperingati sidang pertama dewan gereja di Kerajaan Romawi kuno. Setelah wafatnya Kaisar Julius Caesar, pengelolaan sistem penanggalan diserahkan kepada Paus Gregorius XIII. Ia menyusun Kalender Gregorian untuk memperbaiki ketidakakuratan perhitungan tahun dalam kalender Julian.
Kalender Gregorian tetap mengacu pada tahun Masehi, yang perhitungannya dimulai sejak kelahiran Isa Al-Masih atau Yesus Kristus. Seiring waktu, kalender ini diadopsi secara internasional dan ditetapkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai kalender sipil standar yang digunakan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia.
Dalam konteks kehidupan sehari-hari, UAS menjelaskan bahwa penggunaan alat atau sistem penanggalan non-Muslim seperti kalender Gregorian masih diperbolehkan. “Alat non Muslim boleh kita pakai, termasuk kalender itu sendiri,” kata UAS. Hal ini berlaku untuk keperluan mengatur jadwal, administrasi, atau perencanaan.
Perbedaan Pandangan Ulama tentang Ritual Perayaan
Namun, UAS menegaskan bahwa ketika penggunaan kalender Masehi sudah masuk dalam ranah ritual perayaan, hukumnya menjadi tidak diperbolehkan menurut syariat Islam. “Tapi ketika sudah masuk dalam ritual, seperti meniup terompet, menyalakan kembang api, itu sudah masuk dalam ritual. Apalagi sampai membuang waktu, membawa anak gadis orang yang bukan mahram, maka tidak boleh,” ujarnya.
Senada dengan pandangan tersebut, Kementerian Agama (Kemenag) Provinsi Aceh juga menyoroti potensi mudharat atau dampak negatif yang dapat timbul dari perayaan tahun baru. Meskipun rincian mudharat tidak disebutkan, penekanan pada aspek negatif ini mengindikasikan kehati-hatian terhadap perayaan yang berlebihan.
Di sisi lain, terdapat pandangan yang memperbolehkan perayaan Tahun Baru Masehi, asalkan tidak menimbulkan maksiat dan tetap menjalankan kewajiban ibadah. Mengutip laman Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya menyatakan bahwa merayakan atau memberi ucapan selamat tahun baru Masehi bukanlah hal yang diharamkan.
Meskipun demikian, MUI menekankan agar perayaan dilakukan dengan sederhana dan tetap menghormati ketertiban umum. Dengan demikian, suasana meriah tetap dapat dinikmati tanpa mengganggu nilai-nilai agama maupun lingkungan sekitar.






