Tekanan sosial dan ekonomi, disertai minimnya pemahaman tentang prosedur adopsi yang legal, membuat perdagangan bayi tumbuh subur di Indonesia. Bisnis gelap ini kian menggiurkan dan sulit dilacak, dengan jaringan ilegal yang tersembunyi berkembang pesat di seluruh negeri, didorong oleh media sosial, kemiskinan, dan celah hukum.
Pada tahun 2023, Indah (bukan nama sebenarnya), seorang perempuan berusia 42 tahun, merasakan langsung bagaimana praktik ini beroperasi. Setelah empat kali gagal menjalani program kesuburan, ia mencari hiburan dengan menjelajahi media sosial, menyukai foto dan video bayi yang diunggah panti asuhan. “Aku sebenarnya tidak ingin mengadopsi anak,” ujar Indah kepada CNA. “Aku cuma suka menonton video mereka. Itu bikin aku merasa senang.”
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Namun, sebuah video bayi perempuan bernama Shinta (juga bukan nama sebenarnya) menarik perhatiannya. Shinta selalu tersenyum lebar dan terlihat sangat pintar. “Aku benar-benar bisa membayangkan diriku menidurkan Shinta dan membacakan dongeng untuknya,” kenang Indah.
Keputusan Indah untuk menghubungi panti asuhan pengunggah video itu berujung pada penyesalan. Sejak percakapan pertama, ia dihujani pertanyaan soal penghasilan. “Percakapannya terasa dingin dan transaksional,” tuturnya. “Mereka ingin tahu aku dan suamiku bekerja apa, di mana kami bekerja, berapa penghasilan kami. Setiap kali aku bertanya tentang Shinta dan bagaimana latar belakang ceritanya, mereka selalu mengalihkan pembicaraan.”
Puncaknya, seorang petugas panti asuhan bertanya apakah Indah dan suaminya siap “mengganti” uang yang telah dikeluarkan panti asuhan untuk membesarkan Shinta, yang saat itu belum genap berusia satu tahun. Petugas itu menyebut angka Rp160 juta, setara dengan sekitar US$11.000. “Aku langsung berpikir: ‘Ini tidak masuk akal’. ‘Apa memang normal sebuah panti asuhan memberi harga pada seorang anak?’,” kata Indah, yang kemudian mengurungkan niatnya.
Jaringan Terselubung dan Modus Operandi
Kekhawatiran Indah beralasan. Para pakar yang dihubungi CNA menyebut, jaringan kompleks tekanan sosial dan ekonomi telah berkontribusi pada pesatnya perdagangan bayi di Indonesia. Sindikat ilegal kerap menyasar calon orang tua melalui media sosial. Kemiskinan menjadi faktor pendorong terbesar, di mana banyak ibu hamil kesulitan membiayai perawatan kehamilan, persalinan, hingga membesarkan anak.
Padahal, adopsi di Indonesia sejatinya tidak dipungut biaya, dan semua panti asuhan seharusnya terdaftar serta terakreditasi oleh Kementerian Sosial. Namun, stigma kuat terhadap aborsi, ketatnya syarat penghentian kehamilan, serta minimnya pemahaman soal prosedur adopsi yang legal justru memperparah persoalan ini.
Pada Juli 2025, Polda Jawa Barat, Kalimantan Barat, dan Jakarta menangkap 21 orang yang diduga menjadi anggota sindikat perdagangan bayi. Mereka dituduh telah menjual sedikitnya 25 bayi kepada sejumlah keluarga di Indonesia, bahkan hingga ke luar negeri. Polisi menyebut sindikat yang beroperasi setidaknya selama dua tahun itu diduga meraup sedikitnya US$16.000 (sekitar Rp268 juta) per bayi.
“Kejahatan ini semakin menguntungkan dan taktik yang digunakan para pelaku perdagangan bayi terlihat semakin canggih, dengan target yang semakin luas,” ujar Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, kepada CNA. “Awalnya, kami melihat para pelaku merekrut bayi dari wilayah masing-masing, lalu berkembang menjadi perdagangan lintas provinsi, dan sekarang sudah masuk ke perdagangan internasional.”
Penyelidikan terhadap sindikat ini telah memasuki tahap akhir pada Juli lalu, dan 21 tersangka bisa mulai diadili paling cepat Januari tahun depan. KPAI juga menyebut panti asuhan yang sempat meminta uang kepada Indah sudah berada dalam pemantauan, namun masih dibutuhkan lebih banyak bukti sebelum aparat penegak hukum bisa bertindak.
Selama lima tahun terakhir, KPAI telah menangani 148 kasus perdagangan manusia. Namun, angka tersebut kemungkinan hanya sebagian kecil dari kasus yang sebenarnya, dan hampir tak mungkin mengetahui secara pasti skala jaringan perdagangan manusia di Indonesia. “Sindikat-sindikat ini beroperasi dengan sangat rahasia dan terorganisir. Satu-satunya cara membongkar sebuah sindikat adalah jika ada orang dalam yang bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum,” kata Andi Rohandi dari Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) kepada CNA.
Kasus serupa pernah terjadi. Pada 2022, polisi menangkap Suhendra Abdul Halim, pemilik panti asuhan ilegal di pinggiran Jakarta, yang dikenal di media sosial karena mengajak perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan untuk meninggalkan bayi mereka di “yayasan” miliknya di Bogor. Suhendra, yang telah menjual lebih dari 50 bayi dengan harga Rp15 juta per bayi, kini divonis empat tahun penjara.
Dua tahun berselang, Bali Luih Children’s Foundation di Denpasar, Bali, digerebek karena membeli dan menjual sejumlah bayi dari berbagai wilayah di Jawa. Sebagian bayi bahkan sudah “dibeli” sebelum lahir, dengan orang tua dijanjikan Rp45 juta. Pemilik yayasan, I Made Aryadana, kini menjalani hukuman penjara enam tahun.
Andi Rohandi, yang saat ini menjadi kuasa hukum bagi 13 dari 21 tersangka dalam kasus Juli lalu, menilai penanganan masalah ini tidak cukup hanya dengan membubarkan jaringan yang ada. “Bahkan jika kamu berhasil membuat satu anggota sindikat bekerja sama dan berhasil membongkar satu jaringan, jaringan lain akan muncul dengan taktik baru,” ujarnya.
Memanfaatkan Celah Hukum dan Media Sosial
Proses adopsi anak di Indonesia dikenal panjang dan kompleks. Calon orang tua angkat harus merupakan pasangan suami istri berusia 30-55 tahun, serta mampu menunjukkan kondisi ekonomi stabil. Prosesnya melibatkan persetujuan tertulis orang tua kandung, pengajuan ke Dinas Sosial, masa pengasuhan sementara 6-12 bulan dengan kunjungan pekerja sosial, hingga keputusan pengadilan. Durasi ini bisa memakan waktu 6-12 bulan.
Bagi sebagian orang, kerumitan ini adalah bentuk perlindungan hak anak. Namun, bagi yang lain, terutama di luar kriteria resmi, sistem ini terasa tertutup dan diskriminatif. Fina, calon orang tua angkat berusia 37 tahun yang belum menikah, misalnya, terhalang persyaratan tersebut. “Sejak awal aku sudah diberi tahu bahwa pilihan terbaik yang bisa aku ambil hanyalah mengajukan perwalian, karena adopsi hanya diperuntukkan bagi pasangan heteroseksual yang sudah menikah lebih dari lima tahun,” ujar Fina kepada CNA.
Adopsi di Indonesia berarti orang tua kandung melepaskan hak asuh sepenuhnya, menciptakan hubungan hukum permanen. Sementara perwalian bersifat sementara, hingga anak berusia 18 tahun atau orang tua kandung dinilai layak mengambil kembali. Fina, yang akhirnya tidak melanjutkan proses adopsi maupun perwalian, terus mendapat tawaran untuk membeli bayi. “Selalu ada orang yang bilang mereka bisa mengakali aturan atau mempercepat proses, asal aku mau bayar beberapa juta rupiah untuk satu pihak, dan beberapa juta rupiah lagi untuk pihak lain,” katanya.
Ahmad Sofian, pakar hukum dari Universitas Binus Jakarta, menjelaskan bahwa sindikat perdagangan bayi kerap memanfaatkan celah hukum. “Langsung saja anak diserahkan kepada orang tua baru karena penetapan pengadilan dikeluarkan menggunakan dokumen yang tidak lengkap atau bahkan ilegal,” ujarnya kepada CNA. Taktik umum adalah memalsukan akta kelahiran agar orang tua angkat terlihat sebagai orang tua kandung, terutama di pedesaan di mana persalinan di rumah lazim dan pencatatan kelahiran sering diabaikan. “Jika seorang bayi tidak terdaftar, siapa pun bisa mengklaim bahwa anak itu adalah miliknya dengan menggunakan catatan rumah sakit palsu,” kata Sofian.
“Ada kasus di mana bidan sendiri yang mengatur transaksi dan menjadi otak dari seluruh perdagangan ini,” ujar Ketua KPAI, Ai Maryati Solihah. Kasus ini menimpa Jemitri Eka Lestari, bidan berusia 44 tahun, yang divonis tujuh tahun penjara oleh Pengadilan Tinggi Yogyakarta pada 31 Juli 2025. Rekannya, Dunuk Mudjiasri (77), dijatuhi hukuman dua tahun penjara. Kedua bidan yang ditangkap Desember tahun lalu itu telah menjual sedikitnya 66 bayi sejak 2015, tidak hanya membantu persalinan tetapi juga memalsukan catatan kelahiran. Setiap bayi dijual dengan harga antara Rp55 juta hingga Rp85 juta.
Media sosial juga memudahkan sindikat kejahatan menemukan ibu yang ingin menyerahkan bayi, sekaligus mereka yang ingin mengadopsi. “Ada akun-akun yang digunakan perekrut untuk menyamar sebagai orang yang ingin mengadopsi,” ujar Hendra Rochmawan, juru bicara Polda Jawa Barat, yang menangani sejumlah kasus perdagangan bayi.
Di berbagai platform, bermunculan grup dan forum di mana para ibu secara terbuka mengumumkan mencari orang yang mau mengadopsi bayi mereka, dan calon orang tua angkat menuliskan permintaan mereka. Percakapan terasa lugas, nyaris tanpa emosi, dan bersifat transaksional. “Mencari yang mau melahirkan, diutamakan sekitar wilayah Sragen, Solo, dan Klaten (Jawa Tengah),” tulis akun Rumah Adopsi Harapanku di grup Facebook. Unggahan itu, yang dilihat CNA pada awal Desember, meraih 139 komentar, termasuk “Perkiraan lahir November atau Desember, bayi perempuan” dan “Perkiraan lahir Desember, Cilacap”. Unggahan itu kini telah dihapus, namun banyak balasan menunjukkan minat adopsi dan pesan pribadi.
KPAI dan kepolisian terus memantau ketat grup-grup semacam ini. Interaksi terang-terangan tak hanya terjadi di forum khusus. Yayasan Nurul Iman, panti asuhan kecil di Bandung, terpaksa mengunci kolom komentar media sosialnya karena menduga pelaku perdagangan memantau unggahan mereka. “Kami mendapat begitu banyak komentar yang langsung ke inti persoalan: ‘Berapa?’. Mereka bahkan sudah tidak lagi memakai kata ‘adopsi’,” kata Irsal Yakhsyallah, pemilik Yayasan Nurul Iman. Meskipun kolom komentar dinonaktifkan, Irsal mengaku menerima banyak pesan serupa di direct message dari orang-orang yang menanyakan apakah mereka bisa “membeli” salah satu anak di sana.
Di antara mereka yang aktif menyisir media sosial adalah Astri Fitrinika, perempuan 26 tahun asal Bandung, yang ditetapkan polisi sebagai salah satu anggota kunci sindikat yang terungkap Juli lalu. Astri diduga menciptakan akun palsu dengan identitas berbeda (Fira, Desi, Annisa, Aisyah) lengkap dengan foto profil, linimasa, dan latar belakang meyakinkan sebagai perempuan muda yang kesulitan memiliki anak. “Setiap kali dia melihat seorang ibu dengan bayi yang tidak diinginkan, (Astri) akan masuk ke pesan langsung mereka dan menawarkan diri untuk mengambil bayi itu serta memberikan kasih sayang dan perawatan yang dibutuhkan anak tersebut,” ujar kuasa hukum Astri, Andi Rohandi, kepada CNA.
Untuk mempermanis tawaran, Astri diduga menawarkan Rp15 juta untuk menutupi biaya persalinan. Astri, bersama 20 tersangka lainnya, kini ditahan polisi dan dijerat pasal perdagangan anak, dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara. Jumlah uang semacam itu sangat menggoda bagi keluarga berpenghasilan rendah di Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, per Maret lalu sebanyak 23,8 juta warga Indonesia hidup dengan pengeluaran kurang dari Rp20.000 per hari.
“Kadang mereka sudah punya empat atau lima anak saat hamil lagi. Kadang mereka memang tidak punya uang untuk melahirkan. Beberapa perempuan yang kami dampingi pada akhirnya memilih menyerahkan anak untuk diadopsi karena anak mereka lahir akibat kekerasan seksual,” ujar Sri Mulyati, ketua lembaga advokasi hak perempuan Sapa Institute, kepada CNA. “Jadi kita harus melihat konteks yang lebih luas, yang membuat para perempuan ini mengambil keputusan seperti itu,” ujarnya. Kondisi ketat regulasi aborsi, yang hanya diperbolehkan bagi korban kekerasan seksual atau ketika kehamilan membahayakan nyawa ibu (hingga usia kehamilan 14 minggu), ditambah stigma sosial yang kuat, membuat banyak perempuan dengan kehamilan tidak diinginkan merasa terjebak dan rentan dieksploitasi.
Dalam beberapa kasus, banyak perempuan menyerahkan bayi mereka karena dipaksa oleh suami, ayah, atau saudara laki-laki, yang melihat anak tersebut sebagai cara cepat mendapatkan uang. “Dalam proses pengambilan keputusan di dalam keluarga, perempuan sering kali berada dalam posisi yang lemah, yang tak bisa bersuara,” ujar Sri.
Terbongkar Akibat Keserakahan dan Dampaknya
Sindikat yang diduga melibatkan Astri pada akhirnya terbongkar karena salah satu ayah yang telah menjual bayinya merasa tertipu. Ayah tersebut, seorang pria yang baru kehilangan pekerjaan dan sudah memiliki empat anak, melaporkan Astri ke polisi pada 23 April 2025. “Ia dijanjikan Rp15 juta, tetapi yang diterimanya hanya cukup untuk menutup biaya medis sang ibu,” ujar juru bicara Polda Jawa Barat Hendra Rochmawan, seraya menambahkan bahwa sang ayah hanya menerima sekitar setengah dari jumlah yang dijanjikan. “Saat ia menagih sisa uangnya, pelaku sudah menghilang bersama bayi tersebut,” lanjut Hendra. “Keserakahanlah yang pada akhirnya membongkar sindikat ini.”
Butuh tiga bulan bagi polisi untuk mengurai operasi sindikat tersebut. Penyidik menemukan bahwa sebagian besar bayi dilahirkan di Bandung dan sekitarnya, sebelum dipindahkan ke rumah-rumah aman di Jakarta dan Pontianak. Di lokasi-lokasi itu, anggota sindikat menawarkan bayi-bayi tersebut kepada calon pembeli, termasuk klien dari luar negeri. Untuk pembeli internasional, sindikat memalsukan catatan kelahiran bayi, mencantumkan pelaku perdagangan sebagai orang tua kandung, sehingga paspor dan dokumen perjalanan dapat diterbitkan.
Pada 14 Juli 2025, polisi melakukan penggerebekan serentak di Bandung, Jakarta, dan Pontianak. Mereka menyelamatkan enam bayi dari berbagai lokasi dan menangkap 21 tersangka, termasuk perekrut, pengangkut, perantara, penjaga rumah aman, dan pemalsu dokumen. Pemimpin sindikat, Lie Siu Luan (69), yang dikenal sebagai Lily, ditangkap di Bandara Soekarno Hatta pada 18 Juli 2025 saat kembali dari luar negeri. Satu perantara dan satu perekrut lainnya masih buron.
Aparat menyita dokumen dan catatan yang menunjukkan bahwa sindikat tersebut telah memperdagangkan sedikitnya 25 anak, termasuk 15 bayi yang sudah dikirim ke Singapura. Namun, penyidik yakin angka ini hanya sebagian kecil dari skala sebenarnya. Andi Rohandi mengungkapkan bahwa salah satu kliennya mengaku sudah memperdagangkan 40 hingga 50 bayi sejak bergabung dengan sindikat tersebut pada 2023, dan kliennya hanyalah satu dari empat perekrut dalam sindikat itu.
Kabid Humas Polda Jawa Barat, Hendra, mengatakan penyidik telah memeriksa sejumlah pejabat dari kantor catatan sipil di Pontianak yang menerbitkan akta kelahiran berdasarkan dokumen palsu, serta pemilik sebuah klinik swasta kecil di Bandung tempat beberapa bayi dilahirkan. Hingga kini, belum diketahui apakah Lily memiliki kontak di Singapura, atau apakah para pengadopsi sepenuhnya menyadari bahwa bayi-bayi itu merupakan hasil perdagangan manusia. “Kami berharap semua ini akan terungkap di pengadilan. Apa pun yang ditemukan pengadilan, akan kami gunakan untuk mendalami kasus ini lebih lanjut,” ujar Hendra.
Kasus di Bandung menunjukkan betapa menggiurkannya bisnis ini, dengan potensi keuntungan jutaan dolar AS per tahun. Keuntungan besar bahkan mendorong sebagian sindikat untuk menempuh cara penculikan. Pada 3 November 2025, seorang anak perempuan berusia empat tahun diculik dari taman di Makassar, Sulawesi Selatan, dan ditemukan lima hari kemudian di Jambi, Sumatra. Anak tersebut dilaporkan telah diperjualbelikan tiga kali kepada agen di Jakarta dan Jambi, dengan harga akhir Rp80 juta. Empat orang ditangkap, termasuk pasangan suami-istri Adit Saputra dan Meriana, yang mengaku telah menjual total 10 anak sejak Agustus 2025.
Kasus semacam ini tidak hanya memperlihatkan canggihnya sindikat, tetapi juga menyingkap persoalan yang lebih dalam: banyak warga Indonesia yang tak paham proses adopsi anak secara legal, serta tak menyadari mereka tidak perlu membayar apa pun. “Ada alasan mengapa prosesnya panjang, karena diperlukan penilaian dan pertimbangan yang cermat untuk memastikan hak dan kepentingan terbaik anak terlindungi,” ujar pakar hukum Sofian. “Namun ada pelaku kejahatan yang memanfaatkan ketidaktahuan dan ketidaksabaran masyarakat,” lanjutnya.
Para pelaku kejahatan ini terkadang justru merupakan pihak yang seharusnya memahami hukum dan menjaga sistem, seperti pengelola yayasan. “Panti asuhan menerima hibah pemerintah, donasi swasta, dan dalam beberapa kasus dukungan internasional yang seharusnya cukup untuk menutup kebutuhan operasional tanpa memungut biaya dari calon orang tua angkat. Jadi, sebenarnya tak ada alasan bagi mereka untuk terlibat dalam transaksi semacam ini,” kata Sofian.
Namun, indikasi praktik tersebut masih terus berlangsung. KPAI mengungkapkan pihaknya masih menerima laporan mengenai panti asuhan yang meminta pembayaran. “Saat dikonfrontasi, mereka selalu menyangkalnya,” ujar Ketua KPAI Ai Maryati Solihah kepada CNA. “Namun, laporan-laporan ini terus bermunculan, dan hal itu menciptakan kebingungan serta ketidakpercayaan di tengah masyarakat.”
Dampaknya meluas. Panti asuhan yang dikelola secara etis juga ikut terdampak karena masyarakat khawatir panti asuhan semacam ini menjadi kedok perdagangan manusia. “Kami pernah menghadapi calon orang tua angkat yang mengurungkan niatnya karena kasus-kasus terbaru dan tidak ingin mengambil risiko,” ujar Miska Ramadhani, pemilik panti asuhan Baitul Yatim di pinggiran Jakarta, kepada CNA. “Kami juga menghadapi pengawasan lebih ketat dari para donatur yang menuntut agar keuangan kami diaudit akibat kasus-kasus ini,” ujar Miska. “Aku khawatir jika praktik ini terus berlanjut, hal itu akan memengaruhi kemampuan panti asuhan yang sah untuk beroperasi dan menyediakan ruang aman bagi anak-anak yang rentan,” katanya.
Pengamat menilai butuh waktu panjang sampai Indonesia terbebas dari praktik perdagangan ilegal. Sistem penerbitan akta kelahiran membutuhkan pengawasan yang jauh lebih ketat agar tidak terus dimanipulasi oleh sindikat. “Sementara itu, regulasi seputar aborsi, yang saat ini dibatasi hanya untuk kasus kekerasan seksual atau kehamilan yang mengancam nyawa, perlu ditinjau ulang, karena pembatasan yang ketat sering kali membuat perempuan tidak memiliki pilihan yang aman,” ujar Sri Mulyati dari Sapa Institute.
Pengamat juga mencatat bahwa pelaku perdagangan bayi jarang dijatuhi hukuman maksimal 15 tahun penjara. “Tidak seharusnya ada pembenaran atau alasan apa pun atas tindakan mereka yang terlibat dalam adopsi ilegal, terutama yang beroperasi dari panti asuhan,” kata Sofian. “Apa pun alasan mereka, dan meskipun mereka mungkin telah berbuat baik bagi sebagian anak, terlibat dalam adopsi ilegal, memalsukan dokumen, dan memutus hubungan seorang anak dengan asal-usulnya tetap merupakan tindak pidana.”






