Ratusan kepala desa (kades) dan perangkat desa di Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur (NTT), menggelar aksi unjuk rasa di tengah guyuran hujan deras pada Selasa (8/12/2025). Aksi ini dipusatkan di beberapa titik krusial, termasuk Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (PMD), Kantor DPRD, dan Kantor Bupati Lembata.
Ketua Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Lembata, Sisko Making, menjelaskan bahwa demonstrasi ini merupakan bentuk solidaritas para kepala desa dalam menyikapi terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 81 tahun 2025. Aturan tersebut mengatur tentang Pengalokasian Dana Desa, Penggunaan, dan Penyaluran Dana Desa untuk Tahun Anggaran 2025.
Sisko memaparkan, imbas dari PMK baru ini, sebanyak 83 desa dari total 144 desa di Lembata tidak dapat mencairkan Dana Desa tahap kedua. “Ada 83 Desa dari 144 Desa yang Dana Desa kategorinon-earmarkyang tidak (bisa) dicairkan,” ungkap Sisko saat dihubungi pada Senin.
Ia menambahkan keyakinannya bahwa kondisi alam yang diguyur hujan deras saat aksi berlangsung seolah ikut merasakan keprihatinan. Hal ini dikarenakan ratusan warga yang bergantung pada anggaran dana desa terancam kehilangan mata pencaharian mereka. “Alam juga ikut menangis, ada suara-suara orang kecil. Banyak orang seperti tutor PAUD, guru, nakes (tenaga kesehatan) desa, RT, RW dan lainnya ikut terdampak,” ujarnya.
Sisko mengungkapkan bahwa selama ini para perangkat desa bekerja dengan sukarela dan tulus, tanpa terlalu mempertimbangkan besaran honor yang diterima. “Kalau omong gaji sangat tidak cukup, ada yang diberi honor Rp 150.000 sampai Rp 200.000 per bulan,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya mendesak pemerintah pusat untuk meninjau kembali PMK Nomor 81 tersebut. Mereka juga meminta bupati dan DPRD Lembata untuk menjalin komunikasi dengan pemerintah pusat agar aturan itu dapat dievaluasi.






