Pemanfaatan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Indonesia baru mencapai 11,5 persen dari total potensi nasional. Angka ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara lain seperti Filipina yang sudah memanfaatkan sekitar 48,07 persen dari potensi mereka. Padahal, kapasitas terpasang PLTP Indonesia menempati peringkat kedua terbesar di dunia, di bawah Amerika Serikat.
Kondisi ini memunculkan pertanyaan mengenai kesiapan industri panas bumi nasional dalam mencapai target Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034. Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menyoroti perbedaan capaian ini. “Filipina mampu memanfaatkan sekitar 48,07 persen dari total potensi panas buminya,” ujar Komaidi, mengutip data yang disampaikannya pada Senin (8/12/2025).
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Pertumbuhan kapasitas PLTP di negara lain juga patut dicermati. Turki, misalnya, mencatatkan lonjakan kapasitas tertinggi secara global, tumbuh mencapai 328,23 persen sepanjang dekade terakhir (2014–2024). Sementara itu, RUPTL 2025–2034 menargetkan energi baru dan terbarukan (EBT) berkontribusi antara 51 hingga 61,3 persen dari tambahan kapasitas pembangkit listrik nasional. Dari target tersebut, penambahan kapasitas PLTP ditetapkan sebesar 5,2 gigawatt.
Panas bumi memiliki keunggulan signifikan sebagai sumber energi. Sektor ini tidak bergantung pada kondisi cuaca, dengan faktor kapasitas pembangkit yang mencapai 90–95 persen, tertinggi di antara pembangkit EBT lainnya. PLTP juga menjadi satu-satunya pembangkit EBT yang mampu beroperasi sebagai beban dasar sistem kelistrikan.
Meskipun demikian, pengembangan industri panas bumi di Indonesia masih berjalan lambat. Salah satu faktor penghambat yang diidentifikasi adalah kondisi pasar listrik panas bumi yang bersifat monopsoni, di mana hanya ada satu pembeli atau single buyer/single offtaker. “Masih banyak proyek yang menunggu kepastian perjanjian jual beli listrik (PJBL) dan uap (PJBU), sementara kewajiban eksplorasi harus dipenuhi lebih dulu,” jelas Komaidi.
Kajian membandingkan keberhasilan Filipina dalam mengembangkan sektor panas bumi, yang didorong oleh perangkat regulasi yang mempermudah akses data, penyederhanaan birokrasi, dan insentif fiskal. Perusahaan transmisi nasional di negara tersebut juga memberikan dukungan penuh dalam proses jual beli listrik panas bumi.
Sementara itu, Turki mempercepat pertumbuhan kapasitas PLTP melalui penerapan feed-in tariff, percepatan perizinan, insentif fiskal, serta jaminan dan kompensasi bagi investor yang terdampak perubahan kebijakan.
Usulan Penyempurnaan Kebijakan
Untuk mengejar target RUPTL, kajian tersebut merekomendasikan sejumlah langkah strategis. Revisi regulasi dasar dan turunan panas bumi perlu dilakukan, termasuk pengaturan posisi panas bumi dalam penyediaan listrik nasional. Penyederhanaan dan kepastian perizinan dengan batas waktu yang jelas juga menjadi prioritas.
Penguatan pelaksanaan Perpres 112/2022 melalui sinergi antar kementerian dan lembaga dinilai krusial. Kepastian jadwal penandatanganan PJBL dan PJBU, terutama dalam kondisi pasar monopsoni, harus diupayakan. Negosiasi tarif listrik dan uap perlu disederhanakan, idealnya hanya mencakup harga dasar dan eskalasi.
Pemerintah diharapkan dapat melakukan intervensi jika negosiasi harga tidak mencapai kesepakatan dalam batas waktu yang wajar. Selain itu, perbaikan skema pembelian tenaga listrik diperlukan. Ketentuan Harga Patokan Tertinggi dalam Perpres 112/2022 mengasumsikan pengembang mendapat dukungan pemerintah seperti government drilling atau pembiayaan risiko eksplorasi, namun hal ini belum banyak terealisasi.
“Jika akses terhadap fasilitas pendanaan dan dukungan pemerintah masih terbatas, maka ketentuan harga tidak akan sejalan dengan struktur biaya di lapangan,” tegas Komaidi. Ia menekankan bahwa penyempurnaan kebijakan merupakan kunci agar PLTP dapat berkembang sesuai target dan berperan strategis dalam transisi energi nasional.






