Perayaan Tahun Baru Masehi, yang ditandai dengan pesta, kembang api, dan resolusi pribadi, menjadi fenomena global setiap akhir Desember. Sistem penanggalan ini telah menjadi standar internasional untuk berbagai kegiatan, mulai dari bisnis hingga administrasi.
Namun, bagi umat Islam, muncul pertanyaan mengenai kebolehan merayakan momen tersebut. Apakah perayaan Tahun Baru Masehi sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam?
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Hukum Merayakan Tahun Baru Masehi dalam Islam
Terkait perayaan Tahun Baru Masehi, terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama. Sebagian melarangnya karena dinilai menyerupai tradisi non-Muslim, sementara sebagian lainnya mengizinkan dengan perspektif yang berbeda.
1. Pendapat yang Melarang
Secara historis, perayaan Tahun Baru Masehi berakar dari reformasi kalender yang dilakukan oleh Kaisar Julius Caesar pada abad pertama sebelum Masehi. Ia menetapkan kalender matahari (Julian Calendar) dengan 1 Januari sebagai awal tahun baru. Tradisi ini kemudian diadopsi oleh bangsa Romawi dan berkembang luas hingga menjadi acuan global saat ini.
Dalam ajaran Islam, terdapat larangan bagi umat Muslim untuk melakukan tasyabbuh, yaitu mengadopsi tradisi atau kebiasaan luar yang tidak selaras dengan nilai-nilai syariat. Prinsip ini berlandaskan pada penegasan Allah SWT dalam Al-Qur’an surah Al-Baqarah ayat 120:
وَلَنْ تَرْضٰى عَنْكَ الْيَهُوْدُ وَلَا النَّصٰرٰى حَتّٰى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ ۗ قُلْ اِنَّ هُدَى اللّٰهِ هُوَ الْهُدٰى ۗ وَلَىِٕنِ اتَّبَعْتَ اَهْوَاۤءَهُمْ بَعْدَ الَّذِيْ جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ ۙ مَا لَكَ مِنَ اللّٰهِ مِنْ وَّلِيٍّ وَّلَا نَصِيْرٍ
Artinya: "Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan pernah rela kepadamu (Nabi Muhammad) sehingga engkau mengikuti agama mereka. Katakanlah, "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang sebenarnya)." Sungguh, jika engkau mengikuti hawa nafsu mereka setelah ilmu (kebenaran) sampai kepadamu, tidak ada bagimu pelindung dan penolong dari (azab) Allah."
Selain itu, Rasulullah SAW juga menerangkan hal tersebut dalam sebuah hadits yang menyatakan:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Artinya: "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk golongan mereka." (HR Abu Daud)
Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan dalam kitab At-Tauhid li Ash-Shaffil Awwal Al-Aliy, mengutip penjelasan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam. Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa terdapat dua faktor utama yang menjadi dasar larangan perayaan tersebut bagi umat Islam.
Pertama, perayaan ini asing bagi Islam dan tidak pernah dipraktikkan oleh generasi terdahulu yang saleh. Kedua, praktik tersebut digolongkan sebagai perbuatan bid’ah karena diada-adakan tanpa dalil syar’i yang mendasarinya.
"Tidak halal bagi kaum Muslimin untuk tasyabbuh (menyerupai) kaum kafir dalam perkara-perkara yang khusus menjadi syiar hari raya mereka, seperti menyediakan makanan khusus, memakai pakaian tertentu, mandi ritual, menyalakan api atau lilin, meliburkan aktivitas pekerjaan maupun ibadah, atau bentuk-bentuk lainnya," jelas Ibnu Taimiyah.
Secara garis besar, Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan larangan bagi kaum Muslim untuk mengadopsi segala bentuk simbol maupun karakteristik yang menjadi ciri khas perayaan non-Muslim pada hari tersebut.
Merujuk pada buku The Tausiyah karya David Alfitri, ditekankan bahwa niat baik serta pengisian aktivitas positif dalam merayakan tahun baru Masehi tidak mengubah status hukumnya menjadi halal; hal tersebut tetap dianggap haram dan bid’ah. Hal ini berlandaskan pada fakta bahwa Rasulullah SAW tidak pernah mempraktikkan atau memerintahkannya, ditambah dengan ketiadaan dalil dalam syariat Islam yang melegitimasi perayaan tersebut.
2. Pendapat yang Membolehkan
Melansir laman Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwanya menyatakan bahwa merayakan atau memberi ucapan selamat tahun baru Masehi bukanlah tindakan yang diharamkan. Meski demikian, MUI memberikan catatan agar perayaan tersebut diselenggarakan secara bersahaja, proporsional, serta tetap menghormati ketertiban umum.
Perspektif ini sejalan dengan fatwa Syaikh Athiyyah Shaqr rahimahullah (wafat 2006 M), Guru Besar Al-Azhar sekaligus mantan Mufti Agung Mesir, yang dalam dokumentasi fatwa Al-Azhar menyebutkan bahwa:
قَيْصَرُ رُوْسِيَا "الإِسْكَنْدَرُ الثَّالِثُ" كَلَّفَ الصَّائِغَ "كَارِلْ فَابْرَج" بِصَنَاعَةِ بَيْضَةٍ لِزَوْجَتِهِ 1884 م، اسْتَمَرَّ فِي صُنْعِهَا سِتَّةَ أَشْهُرٍ كَانَتْ مَحِلَّاةً بِالْعَقِيْقِ وَالْيَاقُوْتِ، وَبَيَاضُهَا مِنَ الْفِضَّةِ وَصِفَارُهَا مِنَ الذَّهَبِ، وَفِى كُلِّ عَامٍ يَهْدِيْهَا مِثْلَهَا حَتَّى أَبْطَلَتْهَا الثَّوْرَةُ الشُّيُوْعِيَّةُ 1917 م. وَبَعْدُ، فَهَذَا هُوَ عِيْدُ شَمِّ النَّسِيْمِ الَّذِي كَانَ قَوْمِيًّا ثُمَّ صَارَ دِيْنِيًّا فَمَا حُكْمُ احْتِفَالِ الْمُسْلِمِيْنَ بِهِ؟ لَا شَكَّ أَنَّ التَّمَتُّعَ بِمُبَاهِجِ الْحَيَاةِ مِنْ أَكْلٍ وَشُرْبٍ وَتَنَزُّهٍ أَمْرٌ مُبَاحٌ مَا دَامَ فِى الْإِطَارِ الْمَشْرُوْعِ الَّذِي لَا تُرْتَكَبُ فِيْهِ مَعْصِيَّةٌ وَلَا تُنْتَهَكُ حُرْمَةٌ وَلَا يَنْبَعِثُ مِنْ عَقِيْدَةٍ فَاسِدَةٍ
Artinya: "Kaisar Rusia, Alexander III pernah mengutus seorang tukang emas ‘Karl Fabraj’ guna membuat topi baja untuk istrinya pada tahun 1884 M. Proses pembuatannya berlangsung selama 6 bulan. Topi itu ditempeli batu akik dan permata. Warna putihnya dari perak dan warna kuningnya dari emas. Di setiap tahunnya ia menghadiahkan topi serupa kepada istrinya hingga kemudian istrinya ditumbangkan oleh pemberontakan kelompok komunisme pada tahun 1917 M. Mulanya acara ini merupakan suatu perayaan ‘Sham Ennesim’ yang merupakan tradisi lokal Mesir lantas berubah menjadi tradisi keagamaan. Lalu bagaimanakah hukum memperingati dan merayakannya bagi seorang muslim? Tak diragukan lagi bahwa bersenang-senang dengan keindahan hidup yakni makan, minum dan membersihkan diri merupakan sesuatu yang diperbolehkan selama masih selaras dengan syariat, tidak mengandung unsur kemaksiatan, tidak merusak kehormatan, dan bukan berangkat dari akidah yang rusak." (Wizarah Al-Auqof Al-Mishriyyah, Fatawa Al-Azhar, juz X, halaman 311).
Sejalan dengan fatwa Mufti Agung Mesir, ulama Hadits ternama dari Haramain, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki (wafat 2004 M), dalam bukunya juga menegaskan bahwa:
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ
Artinya: "Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi’raj, malam nishfu sya’ban, tahun baru hijriyah, nuzulul qur’an dan peringatan perang Badar. Menurut pandanganku, kata beliau, peringatan-peringangan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan. Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan." (Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki, Mafahim Yajibu an Tushahihah, [Surabaya: As-Shafwah Al-Malikiyyah], halaman 337-338).
Wallahu a’lam.






