Jembatan Sungai Mahakam Hulu (Mahulu) di Samarinda, Kalimantan Timur, kembali menjadi sasaran tabrakan kapal tongkang. Insiden terbaru melibatkan tongkang M80-1302 pada Selasa, 23 Desember 2025, yang menyoroti lemahnya pengawasan lalu lintas pelayaran di area tersebut.
Menanggapi rentetan kecelakaan ini, Pengamat Maritim Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa menilai sistem pengawasan Sungai Mahakam sudah tidak lagi memadai untuk kompleksitas aktivitas pelayaran saat ini. Ia mendesak pembentukan posko pemantauan real-time yang terintegrasi.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Desakan Penerapan Vessel Traffic Service (VTS)
“Penerapan Vessel Traffic Service (VTS) sangat mendesak. KSOP, Pelindo, operator kapal, dan pihak terkait harus terhubung dalam satu pusat kendali,” tegas Marcellus pada Minggu, 28 Desember 2025.
Menurut Marcellus, posko tersebut harus beroperasi 24 jam penuh dengan dukungan teknologi canggih seperti CCTV night vision, radar, serta sistem peringatan dini. Dengan pemantauan secara real-time, petugas dapat mencegah kapal bergerak di luar jadwal sebelum mendekati jembatan, sehingga potensi tabrakan dapat diminimalisir.
Pengamat dari Ikatan Alumni Lemhannas Strategic Centre (ISC) itu juga merekomendasikan beberapa langkah konkret lainnya. Ini termasuk digitalisasi sistem penggolongan kapal dengan jadwal terkunci, audit teknis menyeluruh terhadap kapal tunda, pemasangan smart fender di pilar jembatan, serta pengetatan zonasi labuh di sekitar jembatan.
“Tanpa langkah tegas dan konkret, rasa aman publik akan terus tergerus, dan insiden serupa hanya tinggal menunggu waktu,” ucapnya memperingatkan.
Sanksi Tegas dan Pembenahan Sistemik Mendesak
Marcellus menekankan bahwa tanpa sanksi tegas dan pembenahan sistemik, Sungai Mahakam akan terus menjadi “langganan” kecelakaan yang mengancam keselamatan publik. Ia mengkritik sanksi yang ada saat ini.
“Jika sanksi hanya sebatas ganti rugi fender atau pilar jembatan, perusahaan akan menganggapnya sebagai biaya operasional,” tegas Marcellus.
Ia menambahkan, insiden tabrakan tersebut berpotensi melanggar Undang-Undang Pelayaran, khususnya Pasal 122 tentang kewajiban keselamatan dan keamanan pelayaran. Bahkan, Pasal 303 ayat 1 dan 2 memungkinkan penerapan sanksi administratif hingga pidana bagi pihak yang bertanggung jawab.
“Pembekuan izin operasi harus menjadi opsi serius. Pemerintah juga perlu menuntut kerugian ekonomi yang lebih luas karena rusaknya jembatan berdampak langsung pada konektivitas warga dan distribusi logistik,” tegasnya lagi, menyerukan tindakan yang lebih komprehensif dari pemerintah.






