Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang telah berjalan hampir satu tahun dinilai bukan sekadar inisiatif sosial, melainkan sebuah perubahan fundamental dalam haluan ekonomi nasional. Pandangan ini disampaikan oleh pakar ekonomi sekaligus pendiri Institute For Development of Economics and Finance (INDEF), Prof. Dr. H. Didin S. Damanhuri, SE, MS. DEA, pada Rabu (31/12/2025).
Menurut Prof. Didin, MBG merepresentasikan pendekatan baru dalam ekonomi pembangunan. Selama ini, negara berkembang, termasuk Indonesia, cenderung mengadopsi prinsip peningkatan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya (at all cost), bahkan jika harus mengorbankan pemerataan. Namun, MBG hadir dengan semangat human resource economics, sebuah pendekatan yang baru menjadi fokus para pakar ekonomi sejak tahun 1992.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
MBG: Pergeseran Paradigma Ekonomi Berbasis SDM
“Kalau MBG bisa konsisten dan (dilakukan) jangka panjang, ini akan menggeser pemikiran ekonomi di Indonesia yang lebih berorientasi pada pembangunan sumber daya manusia. Karena ini kan agak lain. Biasanya strateginya adalah pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya, maka yang akan dipilih adalah pembangunan infrastruktur besar-besaran. Tapi ini menyangkut seluruh penduduk terutama memperbaiki ketimpangan gizi dan pendidikan,” ujar Prof. Didin saat memberikan tinjauan ekonomi terhadap perjalanan satu tahun MBG.
Intervensi negara melalui program gizi dianggap sangat strategis. Jika program ini terkonsolidasi dengan baik, dampak makronya akan sangat luas. Kesenjangan antara masyarakat kelas atas dan bawah diprediksi akan mengecil secara signifikan, mengingat intervensi gizi negara ini menyasar sekitar 50% masyarakat kelas bawah.
Dampak Nyata di Tingkat Akar Rumput
Perubahan positif dari program MBG juga terasa nyata di tingkat akar rumput. Di SMAN 1 Taraju, Cibuntu, Tasikmalaya, MBG berhasil mengubah pola hidup siswa menjadi lebih sehat. Alfi Alfian, siswa kelas XI, menceritakan bagaimana program ini mengubah kebiasaan makannya.
“Sebelum ada MBG, paling cuma jajan cireng. Sekarang setelah MBG saya tidak perlu bawa bekal dari rumah. Kata mama juga mantap di SMA ada MBG, sangat terbantu,” ungkap Alfian dengan ceria.
Senada dengan Alfian, Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMAN 1 Taraju, Nurhayati, mencatat adanya perubahan perilaku ekonomi dan kedisiplinan siswa sejak kehadiran program ini. Kebiasaan jajan saat istirahat berkurang, dan pengeluaran harian siswa yang sebelumnya mencapai Rp12.000 – Rp15.000 kini menurun.
“Kehadiran siswa juga ada perubahan karena mereka merasa terbantu. Minimal asupan gizi akan berdampak terhadap kesehatan. Dengan gizi yang sehat ada semangat mereka untuk sekolah. Mudah-mudahan seiring berjalannya waktu, dengan adanya perbaikan gizi bisa dilihat efek jangka panjangnya,” jelas Nurhayati.
Selain itu, MBG juga memberikan insentif tambahan bagi guru-guru honorer yang membantu kelancaran penyaluran makanan, sehingga meningkatkan pendapatan mereka di luar gaji rutin. Hal ini membuktikan bahwa program MBG justru menjadi tulang punggung baru di sekolah, jauh dari anggapan melemahkan pendidikan.
Komitmen negara juga terlihat dari kebijakan MBG yang tetap berjalan selama libur sekolah. Ini merupakan langkah nyata untuk mencegah stunting dan memperbaiki kualitas gizi anak-anak Indonesia secara berkelanjutan.
SPPG Gerakkan Ekonomi Lokal
Keberadaan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di daerah turut menjadi faktor penting yang menggerakkan perekonomian lokal. Selain berpeluang menciptakan lapangan kerja bagi pegawai dan relawannya, para mitra SPPG juga menyerap produksi bahan pangan lokal dari petani dan peternak di wilayah operasi mereka.
“Keberadaan kami ini betul-betul dirasakan selain oleh penerima manfaat tapi juga oleh pelaku ekonomi seperti pasar, petani, dan yang lainnya. Harapannya, kesempatan kerjasama dengan mereka untuk meningkatkan ekonomi daerah. SPPG jadi jembatan yang sangat strategis untuk memfasilitasi mereka. Alhamdulillah sampai saat ini kita bisa memberikan kontribusi yang positif,” ujar Mitra SPPG Cibuntu, Tasikmalaya, Tino Rirantino.
Prof. Didin juga mengamati bahwa berbagai masalah teknis yang muncul pada program MBG selama satu tahun ini telah berhasil diatasi dan dikonsolidasi dengan baik oleh Badan Gizi Nasional.






