Dalam kurun waktu 24 jam, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil menangkap 25 orang melalui operasi tangkap tangan (OTT) di tiga wilayah berbeda. Di tengah laju korupsi yang terus berulang dan bergerak cepat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan justru tampak sunyi, seolah tidak ada urgensi untuk membenahi persoalan mendasar.
Rangkaian operasi KPK ini bukan sekadar catatan penindakan, melainkan cerminan kegagalan negara dalam menutup sumber-sumber korupsi yang sama dari waktu ke waktu. Salah satu akar masalah utamanya adalah mandeknya regulasi krusial, seperti Undang-Undang Perampasan Aset hasil korupsi.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Rentetan Penangkapan dan Data Korupsi yang Mengkhawatirkan
Operasi KPK dimulai pada Rabu, 17 Desember 2025, malam di Banten. Sembilan orang ditangkap, termasuk seorang jaksa, dua penasihat hukum, dan pihak swasta. Sehari kemudian, Kamis, 18 Desember 2025, KPK melanjutkan operasi di dua pulau berbeda.
Di Bekasi, Jawa Barat, 10 orang diamankan, salah satunya adalah Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang. Penangkapan ini menjadikan Ade Kuswara Kunang sebagai kepala daerah kelima yang terjerat kasus korupsi sepanjang tahun 2025. Pada hari yang sama, di Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan, enam orang ditangkap, termasuk kepala kejaksaan negeri dan kepala seksi intelijen setempat.
Rentetan penangkapan dalam waktu singkat ini menambah daftar panjang kepala daerah, jaksa, dan pengacara yang terseret kasus korupsi. Fenomena ini menunjukkan bahwa korupsi telah tumbuh lintas profesi, menandakan persoalan sistemis yang belum serius dibenahi oleh negara.
Data KPK mempertegas kondisi tersebut. Sejak tahun 2004 hingga 16 Oktober 2025, sebanyak 201 kepala daerah terlibat dalam korupsi, meliputi 30 gubernur serta 171 bupati, wali kota, dan wakil wali kota. Selain itu, 13 jaksa dan 19 pengacara juga terbukti terseret dalam perkara korupsi.
Suap dan Gratifikasi: Persoalan Tak Kunjung Usai
Penangkapan 25 orang dalam 24 jam itu kembali menegaskan bahwa suap dan gratifikasi masih menjadi persoalan yang sangat serius di Indonesia. Lebih dari itu, belum terlihat upaya sungguh-sungguh untuk menutup celah terjadinya praktik tersebut. Sejak tahun 2005, sekitar 62% perkara korupsi yang ditangani KPK berkaitan dengan suap dan gratifikasi. Sebagian di antaranya bahkan telah bermetamorfosis menjadi tindak pidana pencucian uang.
Ironi Regulasi dan Kesunyian Senayan
Ironisnya, Indonesia sejatinya telah memiliki hampir semua instrumen untuk memberantas dan mencegah korupsi. Dari sisi kelembagaan, terdapat KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri. Dari sisi regulasi, aturan hukum pun tidak sedikit. Namun, harus diakui, sebagian regulasi justru menghambat penguatan pencegahan korupsi, sementara regulasi kunci untuk menutup celah suap dan gratifikasi, seperti penguatan sistem pelaporan kekayaan, perlindungan pelapor, dan reformasi pendanaan politik, tak kunjung menjadi prioritas legislasi. Pada titik inilah Senayan kembali tampak sunyi. Parlemen hadir dalam jumlah, namun absen dalam keberanian.
RUU Perampasan Aset Terganjal
Salah satu regulasi krusial yang mandek adalah Undang-Undang Perampasan Aset. Rancangan Undang-Undang (RUU) ini telah dibahas sejak tahun 2008 dan sempat masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2023. Namun, hingga Senin, 22 Desember 2025, pemerintah dan DPR belum juga menyepakatinya untuk disahkan. Publik pun wajar bertanya, apakah regulasi ini terlalu efektif hingga dikhawatirkan menjelma menjadi senjata makan tuan?
Padahal, RUU Perampasan Aset pernah mendapat dukungan terbuka dari Presiden Prabowo Subianto. Dalam pidato peringatan Hari Buruh di Monumen Nasional, Jakarta, 1 Mei 2025, Presiden secara tegas menyatakan dukungannya terhadap perampasan aset hasil kejahatan korupsi. Namun, tujuh bulan berlalu, RUU itu tetap sunyi di Senayan. Wacananya kerap muncul setiap kali KPK melakukan operasi tangkap tangan dan publik menyerukan pemiskinan koruptor, setelah itu kembali menghilang tanpa kepastian.
Urgensi Pengaturan Praktik Lobi
Tak kalah penting, negara juga perlu segera mengatur praktik lobi. Kajian KPK tahun 2023 menyebutkan bahwa praktik lobi di DPR dianggap lumrah, tetapi tidak memiliki pengaturan khusus. Padahal, regulasi diperlukan untuk membedakan lobi politik yang sah dengan lobi yang sarat konflik kepentingan dan bermuara pada suap serta gratifikasi.
Tanpa pengaturan yang jelas, lobi akan terus menjadi pintu masuk korupsi. Data KPK menunjukkan, sejak tahun 2004 hingga 16 Oktober 2025, sebanyak 364 anggota DPR dan DPRD terlibat korupsi. Banyak di antara mereka bermula dari praktik lobi yang tak pernah dibedakan mana yang politik, mana yang transaksi.
Pangkal persoalan kini tidak lagi kabur. Korupsi bukan sekadar urusan penindakan, melainkan juga pilihan politik untuk menutup atau membiarkan sumbernya. Selama regulasi kunci terus digantung di Senayan dan komitmen berhenti sebagai retorika kekuasaan, korupsi akan berulang dengan pola yang sama. Ini yang lebih memprihatinkan, kesunyian parlemen akan terus menjadi bagian dari masalah.






