Minggu pagi, 28 Desember 2025, kawasan Car Free Day (CFD) Bundaran HI Jakarta tetap dipadati pengunjung. Di tengah hiruk pikuk pelari, pesepeda, dan keluarga yang menikmati suasana bebas kendaraan, sekelompok musisi tampil mencuri perhatian dengan busana oranye terang dan songkok hitam rapi.
Mereka adalah para pemain Tanjidor dari Sanggar Betawi Aljabar, yang hari itu berkeliling di jantung ibu kota, meniupkan nada-nada instrumental dari klarinet, trompet, hingga tuba yang berkilap. Musik tradisi Betawi ini mengalun, membelah keramaian dan membawa jejak sejarah panjang ke tengah wajah Jakarta modern.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Melestarikan Budaya di Tengah Arus Modernisasi
Fajar Hardian (30), salah satu pemain Tanjidor, menyeka keringat di dahinya usai berkeliling. Ia menjelaskan bahwa kelompoknya, Sanggar Betawi Aljabar, bermarkas di Tangerang dan tampil berdasarkan panggilan.
“Sanggar Betawi Aljabar nama grupnya,” ujar Fajar saat ditemui di lokasi. “Iya, lagi memang ada panggilan aja. Ya gimana, panggilan aja bang. Kalau ada acara gitu, CFD begini, ya kita ikut partisipasi juga kalau memang dibutuhin gitu. Kalau enggak, ya enggak,” tambahnya.
Bagi Fajar dan rekan-rekannya, Tanjidor bukan sekadar hiburan, melainkan upaya menjaga budaya dan tradisi agar tidak tergerus zaman. Namun, ia mengakui tantangan besar dalam menarik minat generasi muda.
“Ya kita sih memang buat mempertahankan gitu, kebudayaan. Sebab kan kalau memang kita lihat di zaman sekarang ini ya, mana mau sih ya gitu ya anak-anak zaman sekarang main Tanjidor kayak gini,” tutur Fajar.
Oleh karena itu, setiap panggung, sekecil apa pun, menjadi sangat berarti bagi keberlangsungan mereka untuk merawat tradisi yang lahir sejak abad ke-18 ini.
“Kalau gak dikasih panggung buat mentas kan cuma-cuma jadinya. Kita gak bisa buat nunjukin karya-karya kita gitu,” ungkapnya. Fajar berharap ada lebih banyak perhatian dari pihak terkait terhadap budaya Betawi, khususnya Tanjidor, agar mereka lebih sering mendapat kesempatan tampil.
“Ya harapannya ya biar lebih diperhatikan lagi lah gitulah sama dinas-dinas terkaitnya tentang kebudayaan Betawi. Terutama ya Tanjidor ini. Biar banyak panggilannya gitu,” harapnya.
Regenerasi dan Identitas Betawi
Di barisan yang sama, Bidin (47) berjalan sambil menenteng alat musiknya. Ia termasuk pemain paling senior di kelompok itu, bahkan telah menyaksikan empat generasi pemain Tanjidor.
“Iya Bisa dikatakan senior udah berapa ya? Empat generasi ini,” kata Bidin, yang telah bermain Tanjidor sejak sekitar tahun 2012. Ketertarikannya bermula dari keunikan alat-alat musiknya.
“Jadi ngeliat alatnya juga antik-antik gitu kan ya, dari bass cobra ini kan bener-bener menarik juga gitu, belum trombon, klarinet, piston. Itu kan alat perkusi itu alatnya orang-orang Eropa. Jadi kita tertarik tuh. Ikut lah gitu belajar bisa ya ikut,” jelas Bidin.
Sanggar Aljabar, menurut Bidin, telah berdiri sangat lama, bahkan jauh sebelum Indonesia merdeka. Ia menegaskan bahwa regenerasi masih terus berjalan.
“Banyak yang pada mau belajar. Masih banyak. Jadi gak putus gitu aja gitu,” ujarnya. Bidin menekankan bahwa bermain Tanjidor adalah upaya melestarikan identitas Betawi.
“Emang buat ngelestariin budaya aja. Nah jadi supaya jangan putus lah gitu budaya gitu,” terangnya. Ia juga berpesan kepada generasi muda agar tidak melupakan akar budaya di tengah perkembangan zaman.
“Jadi untuk anak muda jangan vakum sama budaya. Harus kenal budaya,” tegasnya.
Dukungan pemerintah, menurut Bidin, juga berperan penting. Ia mengenang momen ketika kelompoknya tampil di Istana Negara semasa kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
“Dulu juga di Istana Negara waktu di Presiden Jokowi di acara Sumpah Pemuda kita main,” kenangnya.
Di tengah keramaian CFD Bundaran HI, alunan Tanjidor pagi itu bukan sekadar hiburan. Ia hadir sebagai pengingat bahwa Jakarta bukan hanya kota gedung tinggi dan musik modern, melainkan juga rumah bagi budaya Betawi yang terus berupaya hidup, selama masih ada yang mau meniupkan nadanya di jalanan ibu kota.






