Ledakan kecerdasan buatan (AI) pada tahun 2025 tidak hanya mengubah lanskap industri teknologi, tetapi juga secara signifikan membentuk ulang peta kekayaan global. Sepanjang tahun ini, lonjakan pasar saham berbasis AI dilaporkan telah menambah lebih dari USD 500 miliar ke pundi-pundi para taipan teknologi di Amerika Serikat.
Fenomena ini juga melahirkan lebih dari 50 miliarder baru di seluruh dunia. Namun, di balik angka-angka yang impresif tersebut, tersimpan sebuah ironi besar: teknologi yang menciptakan kekayaan fantastis ini juga semakin agresif dalam menggantikan peran manusia di berbagai sektor.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
AI Lahirkan Miliarder dari Solusi Pengganti Tenaga Kerja
Forbes mencatat, mayoritas miliarder baru dari sektor AI berasal dari perusahaan-perusahaan Software as a Service (SaaS), pengembang foundation model, hingga startup yang secara eksplisit menawarkan solusi pengganti tenaga kerja manusia di sektor jasa dan manufaktur. Ini mengindikasikan bahwa sumber kekayaan baru ini sering kali berasal dari efisiensi ekstrem, yang kerap berujung pada pengurangan peran manusia.
Beberapa nama baru yang langsung mencuri perhatian adalah Bret Taylor, mantan eksekutif Facebook, dan Clay Bavor, eks petinggi Google. Keduanya kini masuk jajaran miliarder berkat startup AI mereka, Sierra. Perusahaan ini mengembangkan agen AI percakapan yang dirancang untuk menggantikan layanan pelanggan manusia.
Sierra rencananya akan dipamerkan di CES 2026 dengan klien besar seperti Rivian dan The North Face. Dari perspektif bisnis, ini adalah langkah efisien. Namun, dari sisi sosial, inovasi ini menandai ancaman nyata bagi jutaan pekerja layanan pelanggan di seluruh dunia.
Fenomena serupa juga terlihat pada Mercor, sebuah perusahaan rekrutmen berbasis AI yang didirikan oleh Brendan Foody, Adarsh Hiremath, dan Surya Midha. Ketiganya kini menjadi miliarder termuda dalam daftar Forbes. Ironisnya, perusahaan yang bergerak di bidang perekrutan justru mengandalkan AI untuk mengotomatisasi proses yang sebelumnya sangat bergantung pada tenaga manusia.
Investasi Melonjak, Kekayaan Terkonsentrasi
Arus modal ke sektor AI terus membesar secara signifikan. Sepanjang tahun 2025, investasi ke startup AI mencapai USD 202,3 miliar, sebuah lonjakan sekitar 75% dibandingkan tahun sebelumnya. Hampir 40% dari dana tersebut mengalir ke perusahaan-perusahaan pengembang foundation model, dengan OpenAI dan Anthropic menyedot 14% dari total investasi AI global.
Konsentrasi modal yang masif ini semakin memperkuat satu tren yang jelas: AI semakin dikuasai oleh segelintir perusahaan dan individu. Para pemain lama di industri teknologi juga turut menuai hasil besar dari ledakan AI ini.
Elon Musk, misalnya, mencatat lonjakan kekayaan hampir 50% menjadi USD 645 miliar, menjadikannya manusia pertama dengan kekayaan di atas USD 500 miliar. CEO Nvidia, Jensen Huang, menikmati kenaikan harta sebesar USD 41,8 miliar seiring valuasi perusahaannya menembus USD 5 triliun. Larry Page dan Jeff Bezos juga mencatatkan lonjakan kekayaan yang signifikan.
Namun, di saat segelintir orang merayakan pesta kekayaan, dampak AI bagi pekerja biasa justru kian mengkhawatirkan. Otomatisasi, agen AI, dan sistem generatif bukan lagi sekadar wacana, melainkan produk komersial yang siap memangkas biaya operasional—dan pada akhirnya, tenaga kerja. AI mungkin menjadi mesin uang paling efektif dekade ini, tetapi juga berpotensi memperlebar jurang ketimpangan sosial dan ekonomi.






