Korps Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipikor) Bareskrim Polri resmi menetapkan enam orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) terkait pendanaan Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Akibat perbuatan tersebut, negara ditaksir mengalami kerugian hingga USD 43 juta atau setara dengan Rp 728 miliar.
“Berdasarkan penghitungan kerugian negara yang kita terima tanggal 10 November 2025, kerugian keuangan negara sebesar USD 43.617.739,” ujar Dirtindak Kortastipidkor Brigjen Totok Suharyanto dalam konferensi pers di Mabes Polri, Rabu (31/12/2025).
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Kasus ini berpusat pada dugaan penyimpangan pendanaan LPEI kepada dua entitas, yakni PT Duta Sarana Tehnology (PT DST) dan PT Maxima Inti Finance (PT MIF). Brigjen Totok menjelaskan, proses penyidikan kasus ini telah dimulai sejak 22 Januari 2025.
Daftar Tersangka dan Peran
Enam tersangka yang telah ditetapkan oleh penyidik meliputi:
- FA, mantan Relationship Manager Divisi Pembiayaan UKM LPEI periode 2011–2018.
- NH, mantan Kepala Departemen Pembiayaan UKM LPEI periode 2012-2018.
- DSD, mantan Kepala Divisi Pembiayaan LPEI.
- IS, mantan Direktur Pelaksana 3 LPEI periode 2013–2016.
- AS, mantan Direktur Pelaksana 4 LPEI.
- DN, mantan Direktur Utama PT MIF periode 2014–2022.
Modus Operandi Dugaan Korupsi
Brigjen Totok merinci, LPEI sebelumnya memberikan pembiayaan kepada PT DST senilai Rp 45 miliar dan USD 4.125.000 pada rentang tahun 2012–2014. Dalam perjalanannya, proses pembiayaan ini diduga mengalami penyimpangan yang berujung pada kredit macet senilai USD 9 juta.
Untuk menyiasati kredit macet tersebut, pihak LPEI diduga melakukan upaya plafonering pembiayaan sebagai window dressing di akhir tahun 2014. Skema ini dilakukan melalui novasi dari PT DST ke PT MIF.
Berdasarkan skema novasi tersebut, LPEI kemudian memberikan pembiayaan kepada PT MIF senilai USD 47.500.000 melalui tiga tahap kredit modal kerja ekspor. Namun, polisi menduga terjadi dua penyimpangan krusial dalam proses ini.
Pertama, penyimpangan pada proses analisis permohonan hingga perjanjian PT MIF kepada sembilan user yang ternyata fiktif. Kedua, penyimpangan pada proses pencairan dan monitoring kolektibilitas pembiayaan PT MIF yang tidak dilaksanakan. “Ujungnya terjadi macet kol 5 senilai USD 43.617.739,13,” tegas Totok.
Peran Masing-masing Tersangka
Penyidik menduga, tersangka FA, NH, dan DSD tidak melakukan verifikasi kebenaran dokumen perjanjian dengan sembilan end user atau bouwheer yang dijadikan agunan fiktif. Ketiganya juga diduga bekerja sama menyetujui pencairan pembiayaan PT MIF untuk novasi utang PT DST senilai USD 9 juta tanpa setoran awal.
Tersangka IS, lanjut Totok, diduga meminta DSD dan NH untuk mencari debitur baru (PT MIF) guna menyelesaikan pembiayaan bermasalah PT DST. Ia juga meminta DN untuk melakukan pelunasan kewajiban debitur bermasalah atas nama PT DST dan PT SGC.
Sementara itu, tersangka AS diduga menyetujui pemberian fasilitas baru kepada PT MIF dengan skema novasi yang tidak sesuai dengan peraturan prosedur novasi. Adapun tersangka DN melampirkan perjanjian fiktif dengan sembilan end user untuk pengajuan kredit, serta menyalahgunakan dana senilai USD 43,6 juta tersebut untuk kepentingan perusahaannya sendiri, di luar tujuan fasilitas kredit.
Tindakan Hukum dan Pasal yang Disangkakan
Sebagai bagian dari upaya penegakan hukum, penyidik telah melakukan pemblokiran dan penyitaan terhadap 27 objek. Objek-objek tersebut meliputi total luas tanah 91.508 meter persegi dan total luas bangunan 14.648 meter persegi, yang saat ini sedang dalam proses penilaian (appraisal).
Dalam proses penyidikan, Kortas Tipikor telah memeriksa 76 saksi dan tiga ahli, serta melakukan penggeledahan di lokasi para tersangka. Keenam tersangka dijerat dengan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, serta Pasal 3 atau Pasal 4 atau Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.






