Myanmar menggelar pemilihan umum (pemilu) perdananya pada Minggu, 28 Desember 2025, setelah lima tahun dilanda perang saudara. Kepala Junta Myanmar, Min Aung Hlaing, menyerukan partisipasi aktif warganya dalam proses demokrasi ini.
Saat memberikan suaranya di ibu kota Naypyidaw, Min Aung Hlaing menyampaikan pesan tegas kepada para wartawan yang hadir. “Rakyat harus memilih,” katanya, seperti dilansir AFP. Ia menambahkan, “Jika mereka tidak memilih, saya harus mengatakan bahwa mereka tidak sepenuhnya memahami apa itu demokrasi sebenarnya.”
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Pemilu ini menjadi sorotan tajam setelah lima tahun pemerintahan militer dan konflik internal yang berkepanjangan. Para analis politik menduga Min Aung Hlaing, yang kini berusia 69 tahun, berpotensi beralih peran menjadi presiden pasca-pemilu, atau tetap menjabat sebagai kepala angkatan bersenjata dan menjadi kekuatan di balik pemerintahan sipil. Kedua skenario ini secara efektif akan memperpanjang dominasi militer.
Namun, Min Aung Hlaing menolak berkomentar mengenai ambisi kepresidenannya. Ia menegaskan posisinya sebagai “pelayan publik dan kepala militer”, bukan pemimpin partai politik. “Saya tidak bisa begitu saja pergi dan meminta untuk menjadi presiden,” ujarnya.
Jenderal bertubuh mungil itu tercatat sebagai pemilih teratas di tempat pemungutan suara Zeyathiri, yang berlokasi di kompleks resminya di Naypyidaw. Sejumlah jenderal, perwira, dan pejabat pemerintah lainnya turut hadir di aula berhiaskan emas untuk memberikan suara. Mayoritas dari mereka, termasuk Min Aung Hlaing yang berpangkat Jenderal Senior, mengenakan pakaian sipil, sementara istri mereka tampil dengan busana formal.
Partai Persatuan Solidaritas dan Pembangunan (USDP) yang pro-militer diperkirakan secara universal akan menjadi kelompok parlemen terbesar dalam pemilihan ini. Sementara itu, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) pimpinan peraih Nobel Aung San Suu Kyi, yang memenangkan pemilu 2020 namun kemudian dibubarkan, tidak ikut serta dalam kontestasi kali ini.
Di sisi lain, pengawas hak asasi manusia terus menuduh militer Junta menindas pihak-pihak yang berbeda pendapat dan melancarkan perang terhadap pemberontak tanpa menghiraukan korban sipil. Min Aung Hlaing sendiri mengulangi tuduhannya bahwa kemenangan Aung San Suu Kyi pada pemilu sebelumnya disebabkan oleh kecurangan pemilu yang meluas, klaim yang telah dibantah oleh pengawas internasional.
“Itu bukan sesuatu yang bisa kita abaikan,” kata Min Aung Hlaing. “Itulah mengapa kita semua sampai di sini. Saya ingin kalian semua menunggu dan melihat hari ini,” tambahnya, seraya bersikeras bahwa pemilu kali ini “bebas dan adil”. Ia juga menegaskan bahwa rakyat “dapat memilih siapa pun yang mereka sukai.”
Menanggapi dimulainya pemilu di Myanmar, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menekankan pentingnya proses yang mencerminkan kehendak rakyat. “Sangat penting bahwa masa depan Myanmar ditentukan melalui proses yang bebas, adil, inklusif, dan kredibel yang mencerminkan kehendak rakyatnya,” kata PBB di Myanmar. PBB juga menyatakan “berdiri dalam solidaritas dengan rakyat Myanmar dan aspirasi demokrasi mereka.”






