Perahu tradisional jukung telah lama menjadi denyut nadi kehidupan masyarakat di Kalimantan. Alat transportasi air ini tidak hanya berfungsi sebagai moda utama, tetapi juga merefleksikan adaptasi dan kekayaan budaya sungai yang telah berlangsung selama berabad-abad.
Jejak Sejarah Jukung, Perahu Sungai Tertua di Kalimantan
Jukung dikenal luas di Kalimantan, khususnya oleh masyarakat Banjar dan suku Dayak di Kalimantan Selatan serta wilayah sekitarnya. Sejak masa lampau, jukung merupakan tulang punggung transportasi di sungai-sungai besar yang membelah pulau ini. Menurut buku Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi karya Koentjaraningrat dkk., perahu seperti jukung digolongkan sebagai bagian penting dari sistem peralatan hidup, yang menunjukkan cara manusia beradaptasi dengan lingkungan sungai yang luas dan berarus tenang.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Museum Bahari Kementerian Kebudayaan menjelaskan bahwa jukung merupakan hasil perkembangan dari perahu lesung atau canoe kuno. Perahu jenis ini dibuat dari satu batang kayu besar yang dilubangi bagian tengahnya untuk tempat duduk penumpang atau barang. Metode pembuatan yang sederhana ini mengindikasikan bahwa jukung telah dikenal sejak masa yang sangat lama.
Bukti arkeologi di Kalimantan Selatan turut memperkuat dugaan tersebut. Temuan seperti Jukung Patai dan Jukung Bakapih menunjukkan bahwa bentuk awal jukung telah digunakan sejak berabad-abad lalu.
Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia mencatat, teknologi pembuatan jukung berkembang dari teknik lama berupa perahu ikat dan penggunaan pasak kayu, sebelum akhirnya dikenal sebagai perahu papan khas Banjar. Selain itu, penelitian Kosnowihardjo yang dikutip oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menjelaskan bahwa bentuk jukung juga mendapat pengaruh dari kebudayaan prasejarah dataran Cina Selatan (Yunnan). Pengaruh ini masuk ke Asia Tenggara melalui jalur migrasi yang melewati Kalimantan, memperkaya perkembangan teknologi perahu tradisional di wilayah ini.
Material dan Teknik Pembuatan Jukung yang Unik
Bakal jukung dibuat dari satu batang kayu keras seperti ulin, mersawa, atau kayu besi. Bagian tengahnya dikerok menggunakan belayung (kapak tradisional), sehingga terbentuk ruang memanjang untuk penumpang atau muatan.
Tahap berikutnya adalah pemekaran lambung. Bagian dalam perahu diisi air, sedangkan bagian luar dipanaskan dengan api selama beberapa hari untuk memuaikan kayu. Setelah itu, dipasang balok penahan agar lambung melebar dan stabil di air. Catatan bertajuk Jukung Barito di situs resmi Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menunjukkan bahwa pada tahap akhir, lambung diperkuat dengan tataban (papan melintang), plat logam atau pasak kayu, serta tambahan papan pada haluan dan buritan. Ini membuat perahu sanggup mengarungi sungai-sungai besar seperti Barito, Nagara, dan Amandit.
Peran Vital Jukung dalam Ekonomi dan Mobilitas Masyarakat Sungai
Sejarah sosial Sungai Barito yang dikaji BRIN menggambarkan jukung sebagai alat utama perpindahan penduduk Dayak dari hilir ke pedalaman, mengikuti alur sungai yang tenang. Sebelum jalan darat dibuka, jukung dan kelotok menjadi moda transportasi paling populer untuk mengangkut hasil pertanian, kayu, ikan, hingga kebutuhan sehari-hari, sebagaimana disebutkan Kemendikdasmen dalam buku Perahu Tradisional Kalimantan Selatan.
Di lingkungan masyarakat Banjar, jenis jukung pun sangat beragam yang dibedakan berdasarkan fungsinya. Di pasar terapung, jukung menjadi “lapak bergerak” tempat pedagang perempuan Banjar menjajakan hasil kebun dan makanan tradisional di atas air.
Jukung: Simbol Budaya dan Upaya Pelestarian Identitas Sungai
Dalam kerangka antropologi Koentjaraningrat, jukung termasuk unsur “sistem peralatan hidup dan teknologi” yang bukan hanya benda fungsional, tetapi juga simbol kebudayaan sungai masyarakat Kalimantan. Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, melalui berbagai lomba dan festival balap jukung seperti Gubernur Cup dan kejuaraan balap jukung Mantuil, mendorong pelestarian perahu tradisional ini sekaligus memperkuat identitas masyarakat Banjar sebagai “urang sungai”.
Dinas Kebudayaan DKI Jakarta bahkan menjadikan Jukung Barito sebagai koleksi edukatif di museum. Ini untuk menunjukkan bagaimana teknologi perahu tradisional Kalimantan berkembang dari satu batang kayu menjadi armada transportasi yang menopang perdagangan dan mobilitas di Nusantara.






