Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menyatakan tidak berwenang mengadili gugatan perdata senilai Rp 125 triliun yang diajukan seorang warga bernama Subhan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI. Putusan ini diambil setelah majelis hakim mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh para tergugat.
“Setelah saya cek itu di dalam amarnya itu mengabulkan eksepsi dari para tergugat, menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang mengadili perkara ini dan membebankan perkara kepada penggugat,” ujar Juru Bicara (Jubir) PN Jakarta Pusat, Sunoto, kepada wartawan pada Senin (22/12/2025).
Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.
Sunoto menegaskan bahwa dengan adanya amar putusan yang menyatakan PN tidak berwenang, maka proses perkara di PN Jakarta Pusat telah berakhir. Pihak yang merasa tidak puas dengan putusan tersebut masih memiliki opsi untuk mengajukan upaya hukum lain.
“Nah artinya kalau sudah ada amar menyatakan Pengadilan Negeri tidak berwenang, ini berarti sebagai putusan akhir ya, mengakhiri perkara ini, nah tentu pihak yang tidak puas bisa mengajukan upaya hukum,” jelasnya.
Alasan PN Jakarta Pusat Tidak Berwenang
Sunoto menjelaskan, majelis hakim memiliki beberapa pertimbangan utama dalam menyatakan ketidakwenangan PN Jakarta Pusat untuk menangani gugatan ini. Salah satu alasannya adalah kewenangan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Jadi ada beberapa alasan yang menjadikan perkara tersebut di mana pengadilan menyatakan tidak berwenang, itu yang pertama adalah kewenangan PTUN. Nah di sini ya pokoknya substansi gugatan mempersoalkan keputusan KPU yang merupakan keputusan tata usaha negara ya berdasarkan pasal 47 Undang-Undang 51/2009 yang berwenang adalah pengadilan tata usaha negara. Jadi penggunaan dalil perbuatan melawan hukum tidak mengubah substansi sengketa,” papar Sunoto.
Selain itu, Sunoto juga menyoroti adanya prinsip lex specialis dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Undang-undang tersebut secara khusus mengatur mekanisme penyelesaian sengketa Pemilu melalui Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan PTUN, bukan melalui Pengadilan Negeri.
“Nah yang kedua itu kaitannya dengan lex specialis Pemilu di dalam Undang-Undang Nomor 7/2017 tentang Pemilu mengatur mekanisme khusus penyelesaian sengketa Pemilu melalui Bawaslu dan PTUN bukan melalui Pengadilan Negeri,” tambahnya.
Detail Gugatan dan Petitum
Gugatan perdata ini terdaftar dengan nomor perkara 583/Pdt.G/2025/PN Jkt.Pst. Sidang perdana telah digelar di PN Jakarta Pusat pada Senin (8/9/2025). Majelis hakim yang mengadili perkara ini diketuai oleh Budi Prayitno, dengan anggota Abdul Latip dan Arlen Veronica.
Dalam petitum gugatannya, penggugat Subhan meminta sejumlah hal, antara lain:
- Mengabulkan gugatan dari penggugat untuk seluruhnya.
- Menyatakan tergugat I (Gibran) dan tergugat II (KPU RI) bersama-sama telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan segala akibatnya.
- Menyatakan tergugat I tidak sah menjadi Wakil Presiden Republik Indonesia periode 2024-2029.
- Menghukum para tergugat secara tanggung renteng membayar kerugian materiel dan imateriel kepada penggugat dan seluruh warga negara Indonesia sebesar Rp 125.000.010.000.000 (Rp 125 triliun) dan disetorkan ke kas negara.
- Menyatakan putusan ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad), meskipun ada upaya hukum banding, kasasi dari para tergugat.
- Menghukum para tergugat secara tanggung renteng untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp 100.000.000 setiap hari atas keterlambatannya dalam melaksanakan putusan pengadilan ini.
- Menghukum para Tergugat secara tanggung renteng untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini.






