Lifestyle

Hukum Meniup Terompet Saat Malam Tahun Baru dalam Pandangan Islam: Antara Tradisi dan Tasyabbuh

Menjelang pergantian tahun, antusiasme masyarakat dalam menyambutnya kian terasa. Namun, di balik kemeriahan tersebut, sering kali muncul diskusi di kalangan umat Islam mengenai hukum meniup terompet. Pertanyaan mendasar yang kerap mengemuka adalah, apakah tindakan ikut serta merayakan tahun baru dengan meniup terompet diperbolehkan dalam syariat Islam?

Hukum Meniup Terompet dalam Islam

Dalam literatur Islam, tidak ditemukan ayat Al-Qur’an maupun hadits shahih yang secara eksplisit membahas hukum meniup terompet saat tahun baru Masehi. Kondisi ini mendorong para ulama untuk merumuskan hukumnya melalui metode qiyas (analogi), yakni dengan membandingkannya pada perilaku tasyabbuh.

Simak artikel informatif lainnya hanya di mureks.co.id.

Merujuk pada karya Jamil bin Habib Al-Luwaihiq yang berjudul Tasyabbuh yang Dilarang dalam Fikih Islam, istilah tersebut berarti meniru atau menyerupai identitas kaum di luar Islam.

Mengingat meniup terompet merupakan tradisi yang berakar dari budaya Yahudi, sebuah hadits dari Abu ‘Umair bin Anas yang bersumber dari bibinya (seorang sahabat Anshar) menjelaskan bahwa:

اهتم لنبي صلى الله عليه وسلم للصلاة كيف يجمع الناس لهم فقيل له انصب راية عند حضور الصلاة فإذا رأوها آذن بعضهم بعضا فلم يعجبه ذلك قال فذكر له القنع يعني الشبور وقال زياد شبور اليهود فلم يعجبه ذلك وقال هو من أمر اليهود قال فذكر له الناقوس فقال هو من أمر النصارى فانصرف عبد الله بن زيد بن عبد ربه وهو مهتم لهم رسول اللهِ صلى الله عليه وسلم فأري الأذان في منامه

Artinya: "Nabi SAW memikirkan bagaimana cara mengumpulkan orang untuk salat berjamaah. Ada beberapa orang yang memberikan usulan. Yang pertama mengatakan, Kibarkanlah bendera ketika waktu salat tiba. Jika orang-orang melihat ada bendera yang berkibar maka mereka akan saling memberi tahukan tibanya waktu salat. Namun Nabi tidak menyetujuinya. Orang kedua mengusulkan agar memakai terompet. Nabi pun tidak setuju, beliau bersabda, Membunyikan terompet adalah perilaku orang-orang Yahudi. Orang ketiga mengusulkan agar memakai lonceng. Nabi berkomentar, Itu adalah perilaku Nasrani. Setelah kejadian tersebut, Abdullah bin Zaid bin Abdi Rabbihi pulang dalam kondisi memikirkan agar yang dipikirkan Nabi. Dalam tidurnya, beliau diajari cara beradzan." (HR. Abu Daud)

Berdasarkan hadits tersebut, Rasulullah SAW menerangkan bahwa terompet merupakan simbol yang lekat dengan kaum Yahudi. Oleh karena itu, beliau tidak menyukai penggunaan terompet, meskipun dimaksudkan untuk tujuan yang baik, seperti mengumpulkan umat guna menunaikan salat.

Adapun hukum membunyikan terompet yang meniru kaum Yahudi juga dikaitkan dengan sabda Rasulullah SAW yang menyebutkan:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

Artinya: "Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk dari mereka" (HR. Abu Daud)

Selain itu, kebiasaan meniup terompet pada malam pergantian tahun juga menimbulkan persoalan lain, yakni suara bising yang berpotensi mengganggu ketenangan orang-orang yang sedang beristirahat maupun mereka yang hendak menunaikan salat malam.

Penjelasan Buya Yahya

Senada dengan pandangan tersebut, Buya Yahya menjelaskan dalam kajian di kanal YouTube Al-Bahjah TV. Ia menekankan bahwa persoalan muncul ketika meniup terompet dilakukan bersamaan dengan ritual atau tradisi keagamaan orang kafir, seperti pada malam Tahun Baru Masehi.

Dalam konteks ini, Buya Yahya mengatakan, "Namun ketika meniup terompet tersebut dilakukan saat bertepatan dengan budaya agama lain, kita tidak boleh niru-niru."

Menurut Buya Yahya, meniup terompet di malam tahun baru merupakan bagian dari ritual atau tradisi khas non-Muslim yang tidak berasal dari ajaran Islam. Oleh karena itu, beliau berpesan, "Jika ada sebuah budaya yang bukan dalam Islam dan itu menjadi ciri khas keagamaan, maka kita tidak boleh ikut-ikutan."

Meskipun begitu, Buya Yahya menegaskan bahwa larangan tersebut hanya berlaku bagi umat Islam dan bukan bentuk penghinaan terhadap agama lain. Ia menegaskan, "Ini bukan menghina cara Anda meniup terompet, ini dalam lingkaran kaum muslimin, bukan merendahkan agama lain."

Buya Yahya juga menjelaskan bahwa umat Islam boleh melarang anggota keluarga atau sesama Muslim untuk meniup terompet, tetapi tidak dibenarkan mencaci atau mengolok pemeluk agama lain. Ia menutup dengan pernyataan, "Yang tidak boleh adalah mencaci dan mengolok, sebab setiap orang punya cara ibadah sesuai dengan agamanya."

Wallahu a’lam.

Mureks