Regional

Gemuruh, Gempa, Lalu Banjir Bandang: Kisah Kepala Desa Aceh Tengah Bertahan Hidup

Advertisement

Suara gemuruh dan getaran gempa bumi mengawali datangnya bencana banjir bandang di Kampung Umang, Kecamatan Linge, Aceh Tengah. Peristiwa yang terjadi pada Rabu (26/11/2025) sore itu memaksa ratusan warga mengungsi dan meninggalkan rumah mereka.

Wahyu Putra, Kepala Desa Umang, menceritakan detik-detik sebelum bencana terjadi. Hujan deras mengguyur kampung sejak pagi, namun intensitasnya tidak tinggi. Sekitar pukul 16.00 WIB, suasana berubah mencekam. “Baru sore Rabu terdengar di kampung kami bunyi dentuman bumi dan ada getaran gempa,” ujarnya.

Suara tersebut disusul dengan tanah yang longsor dari pegunungan, terdorong oleh aliran air. Bencana banjir bandang itu melanda Kampung Umang, bahkan menyebabkan sebagian tanah di kampung tersebut retak.

Warga Mengungsi ke Lokasi Aman

Sebanyak 95 Kepala Keluarga (KK) atau sekitar 221 penduduk Kampung Umang terpaksa mengungsi ke sebuah lokasi bernama Simpang Kelampang. Namun, proses evakuasi tidak berjalan mulus.

Pada Jumat pagi, 133 warga di dusun Pantan Jemungket terjebak saat hendak menuju lokasi pengungsian. “Kami potong kayu untuk membuat jembatan darurat, supaya masyarakat yang terjebak bisa keluar menuju Simpang Kelampang dan berkumpul bersama,” tutur Wahyu.

Kini, masyarakat Kampung Umang menyatakan tidak ingin kembali ke kampung halaman mereka. Mereka mendambakan permukiman baru. “Kalau kami di Kampung Umang ingin pindah kampung, karena di kampung itu kami tidak nyaman lagi, kami ingin direlokasi,” tegas Wahyu.

Kondisi Pengungsi Memprihatinkan

Di lokasi pengungsian Simpang Kelampang, kondisi warga mulai memprihatinkan. Wahyu melaporkan bahwa sekitar 35 persen warganya sudah jatuh sakit, dan 75 persen lainnya menunjukkan gejala sakit.

Advertisement

Kebutuhan mendesak adalah bahan bakar minyak (BBM) untuk keperluan kampung dan logistik. “Seperti kemarin, saat kami ke posko pemda, saat kami ingin membawa logistik, BBM tidak ada,” keluhnya.

Posko pengungsian hanya terdiri dari satu unit tenda seadanya. Penanganan medis pun terbatas. “Kalau tim medis, karena akses jalannya tidak memungkinkan, jadi tidak bisa turun dari kecamatan ke sana,” jelas Wahyu.

Kekhawatiran lain muncul akibat dua kali gempa susulan yang terjadi setelah bencana. Wahyu khawatir gempa tersebut dapat memicu longsor lanjutan dari Gunung Masjid.

“Kalau gunung itu turun ataupun pecah, maka kampung kami itu menjadi lautan, itu yang kami khawatirkan,” ungkapnya.

Para pengungsi sangat membutuhkan tenaga medis serta alat komunikasi. Ketiadaan listrik dan jaringan telepon seluler serta internet menambah beban mereka. “Kami mohon perhatian dari semua pihak, mohon bantu kami,” pinta Wahyu.

Advertisement