Kamis, 25 Desember 2025 – Frenkie de Jong, salah satu gelandang dengan bayaran tertinggi di Barcelona, kini menghadapi situasi pelik. Meskipun menerima gaji fantastis, perannya di bawah asuhan pelatih Hansi Flick justru terlihat minim dan kerap dipertanyakan kesesuaiannya dengan taktik baru.
Pemain asal Belanda ini tercatat sebagai pemain dengan gaji tertinggi kedua di klub, mencapai 19 juta Euro per tahun atau setara Rp 374 miliar. Namun, data menunjukkan bahwa De Jong baru tampil sebagai starter sebanyak 10 kali di Liga Spanyol musim ini, dengan delapan di antaranya bermain penuh.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Posisi inti De Jong di lini tengah kerap dirotasi, bahkan digantikan oleh para pemain jebolan akademi La Masia. Nama-nama seperti Pedri, Marc Casado, dan Fermin Lopez seringkali menjadi pilihan Flick untuk mengisi pos gelandang.
Situasi ini memunculkan paradoks yang disoroti oleh Tribuna: gaji tinggi De Jong berbanding terbalik dengan ketidakcocokannya terhadap gaya melatih Hansi Flick. Pelatih asal Jerman itu dikenal menyukai gelandang yang bergerak secara vertikal.
Gaya bermain ini terlihat jelas pada tim-tim yang pernah ditanganinya, seperti Joshua Kimmich di Bayern Munich atau Leon Goretzka di Tim Nasional Jerman. Para gelandang dalam skema Flick dituntut memiliki fisik yang kuat dan kecepatan untuk menusuk jantung pertahanan lawan.
Bahkan, bek tengah Erick Garcia yang sebelumnya terpinggirkan, kini menjadi andalan karena kemampuannya memenuhi tuntutan tersebut.
Berbeda dengan preferensi Flick, Frenkie de Jong yang kini berusia 28 tahun memiliki tipikal bermain yang mengutamakan penguasaan bola. Ia cenderung bergerak sedikit turun, mengalirkan bola secara horizontal, dan menarik perhatian lawan untuk menciptakan ruang bagi rekan-rekannya.
Gaya ini kontras dengan keinginan Hansi Flick yang menginginkan gelandang untuk langsung masuk ke ruang kosong, bukan menunggu atau terlalu lama memegang bola. Flick lebih menyukai dinamisme di lini tengah.
Maka, kehadiran De Jong dalam tim racikan Flick diibaratkan seperti ‘solois jazz dalam band metal’, sebuah perumpamaan yang menggambarkan ketidaksesuaian fundamental antara gaya bermain sang pemain dengan filosofi pelatih.






