Dunia sepak bola Eropa kembali dihebohkan dengan kemunculan talenta baru dari Prancis. Setelah Ibrahima Konate, William Saliba, dan Leny Yoro sukses menancapkan namanya di Liga Primer Inggris, kini klub-klub elite Eropa memusatkan perhatian pada satu nama: Tylel Tati. Bek muda Nantes ini menjelma menjadi komoditas panas di bursa transfer, menarik minat Manchester United, Paris Saint-Germain, hingga Bayern Munich.
Hingga awal Agustus lalu, nama Tylel Tati belum banyak dikenal, bahkan di Prancis sekalipun. Namun, hanya dalam hitungan bulan, ia berhasil mencuri perhatian setelah melakoni debutnya bersama Nantes pada usia 17 tahun. Momen debutnya pun tak main-main, langsung berhadapan dengan raksasa Paris Saint-Germain di pekan pembuka Ligue 1 musim 2025/26. Sejak saat itu, kariernya meroket. Tati menjadi starter dalam 12 dari 13 laga Ligue 1 berikutnya, berperan penting membantu Nantes berjuang menjauh dari zona degradasi.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Jejak Sang “Monster” dari Nantes
Tylel Tati lahir di Champigny-sur-Marne, pinggiran Paris, pada 17 Januari 2008. Ia adalah anak bungsu dari empat bersaudara. Darah sepak bola mengalir dari sang ayah, Sambou ‘Bijou’ Tati, yang merupakan tokoh besar di kancah sepak bola lokal kampung halamannya. Sambou menjabat sebagai presiden klub amatir US Roissy-en-Brie selama 20 tahun dan kerap bercerita pernah melatih Paul Pogba.
Namun, ikatan terdekatnya justru dengan permata terbaru yang lahir dari klub tersebut, putranya sendiri. “Sebagai presiden klub dan pelatih, saya sudah melihat banyak pemain datang dan pergi,” ujar Sambou Tati kepada Le Parisien. “Hari ini, ketika saya sadar itu anak saya sendiri, wow… luar biasa. Rasanya hangat sekali di hati.”
Sebelum bergabung dengan klub ayahnya, Tati mengasah kemampuannya di alun-alun kota tempat tinggalnya, melawan anak-anak yang usianya lebih tua. “Semua orang ingin satu tim dengannya. Itu tak mengejutkan kalau Anda tahu kedewasaan dan hasratnya untuk menang,” tambah Sambou.
Tati sempat menimba ilmu di akademi legendaris INF Clairefontaine, tempat yang pernah melahirkan nama-nama besar seperti Nicolas Anelka, Thierry Henry, hingga Kylian Mbappe. Meski sempat mengalami masalah pada pinggul akibat lonjakan pertumbuhan, bakatnya tetap menarik perhatian Nantes, yang sudah memantaunya sejak usia 11 tahun.
Kemampuan distribusi bola dan tekniknya membuat pemandu bakat Nantes, Mohamed Sadaoui, mengundangnya ke sebuah turnamen usia muda. Kesan pertamanya langsung membekas. Dalam sebuah laga uji coba, baru 20 menit berjalan, seorang staf Nantes berkata pada Sadaoui: “Kita harus segera mengontrak anak ini.” Nantes bukan satu-satunya peminat, PSG juga sempat mengintainya. Namun, Tati membuat keputusan dewasa dengan menolak kilau raksasa Ligue 1 demi jalur perkembangan yang lebih jelas di Nantes. Ia menandatangani kontrak trainee tepat di hari ulang tahunnya yang ke-13.
Musim Terobosan dan Pujian dari Pelatih
Pada usia 15 tahun, Tati sudah bermain untuk tim U-17 Nantes, lalu naik ke tim cadangan di akhir musim 2024/25. Ia membantu Nantes melaju ke final Championnat U-19, meski harus kalah 2-1 dari PSG. Kekecewaan itu tak berlangsung lama, karena penampilan konsisten Tati berhasil menarik hati para pelatih tim utama, yang lantas mengundangnya mengikuti sesi pramusim bersama mereka.
Di pramusim, Tati langsung mencuri perhatian. Ia pun dipasang sebagai starter pada laga pembuka Ligue 1, lagi-lagi melawan PSG. Nantes kalah 1-0 di tangan sang treble winners, tetapi Tati tampil nyaris tanpa cela. Ia mendapat ulasan gemilang dari media lokal maupun nasional. L’Equipe bahkan menulis bahwa remaja 17 tahun itu “tak pernah kesulitan” mengawal Goncalo Ramos, bahkan mampu mematikan pergerakannya. Satu-satunya momen striker timnas Portugal itu menang duel dari sang debutan adalah saat ia terjebak offside.
“Dia bermain sangat baik, tenang, fokus, dan itu lumayan untuk anak 17 tahun,” kata pelatih Luis Castro, yang hanya tak memainkan Tati musim ini ketika ia mengalami cedera ringan. Dengan 13 start, Tati menjadi pemain U-18 paling sering dimainkan di lima liga top Eropa musim ini. Dampaknya terasa pahit bagi Uros Radakovic, bek Serbia 31 tahun yang direkrut musim panas, namun baru tampil empat kali, itu pun semuanya sebagai pengganti.
Oktober lalu, Tati meneken kontrak profesional pertamanya hingga 2028, dengan opsi perpanjangan sampai 2030. Namun, kecil kemungkinan ia bertahan selama itu di Nantes. Manchester United, Arsenal, Bayern Munich, Barcelona, dan PSG terus memantau tiap langkahnya.
Kekuatan dan Area Pengembangan
Tati dulunya adalah gelandang, dan itu menjelaskan visi bermain serta kualitas distribusinya. Ia mahir membangun serangan dari belakang, sementara postur tubuhnya yang mencapai 188 cm memberinya keunggulan dalam duel fisik. Statusnya sebagai bek tengah berkaki kiri semakin membuatnya jadi komoditas langka, karena cocok bermain dalam skema tiga bek, sebagai bek sayap inverted, atau bek tengah kiri yang berani naik ke tengah.
“Ia dewasa dan sangat tenang dalam menghadapi kesulitan,” kata direktur akademi Nantes, Samuel Fenillat, kepada Ouest-France. “Dia cerdas, membaca permainan dengan sangat baik, selalu sadar pergerakan rekan-rekan setimnya. Dia mau mendengar dan belajar dengan cepat.”
Pelatih tim cadangan Nantes, Stephane Ziani, yang melatih Tati hingga akhir musim kemarin, menambahkan: “Dia tipikal bek modern; tinggi, cukup cepat, tapi tahu kelebihannya dan selalu fokus.”
Meski demikian, Tati juga memiliki area yang perlu diperbaiki. Masalah disiplin menjadi salah satunya, dengan ia sudah mengoleksi empat kartu kuning dari 13 laga. Namun, hal itu juga dipengaruhi situasi Nantes yang merupakan salah satu tim terlemah di Ligue 1 sehingga memaksanya melakukan pelanggaran lebih sering.
Menurut Fenillat, Tati “masih perlu lebih dinamis dan lincah dalam bergerak. Fisiknya juga masih bisa berkembang, dan itu wajar di usianya. Justru itu tanda positif.” Kariernya masih seumur jagung, tetapi Tati juga perlu meningkatkan ancaman ofensifnya dari situasi bola mati jika ingin benar-benar mencuri hati klub-klub Liga Inggris.
Perbandingan dengan Leny Yoro dan Masa Depan
Perkembangan pesat Tati mengingatkan pada Leny Yoro, yang menjadi pemain inti Lille saat masih 17 tahun. Bedanya, Yoro diberi waktu satu musim untuk beradaptasi, sementara Tati langsung dilempar ke situasi serba susah oleh Nantes. Keduanya sama-sama elegan menguasai bola meski bertubuh tinggi. Namun, Tati tampak lebih kuat secara fisik dibanding Yoro. Bek Manchester United itu juga diuntungkan karena bermain di tim yang lebih kompetitif, Lille finis kelima di musim debutnya saat masih keluar masuk tim, dan menembus empat besar di musim berikutnya ketika mulai rutin jadi starter.
Meroketnya reputasi Yoro memicu persaingan antara Real Madrid dan Manchester United untuk mendapatkannya di usia 18 tahun, sebelum Setan Merah akhirnya memilih bertekuk lutut menyanggupi banderol Lille seharga £52 juta. Di Old Trafford, ia merasakan pasang surut. Ia memang menonjol saat menyerang, tetapi masih perlu memoles aspek defensif. Tati bisa belajar dari nasib Yoro, dengan bertahan sedikit lebih lama di klub masa kecilnya agar benar-benar siap saat melangkah ke luar negeri.
Prioritas utama Tati adalah membantu Nantes menjauh dari degradasi, karena tak ada pemain dengan ambisi besar yang sudi namanya tercatat saat klub turun kasta dari Ligue 1 untuk pertama kalinya sejak 2013. Ia juga sebaiknya menolak godaan pindah Januari. Di usia sekarang, ia mendapat dua hal terpenting untuk pemain seusianya di Nantes: menit bermain reguler dan, seperti kata Ziani, “pelatih yang mempercayainya.”
Sambou Tati percaya potensi putranya belum sepenuhnya terlihat, “dia masih bermain dengan rem tangan,” katanya. Sadaoui, orang pertama yang menemukannya di usia 11 tahun, pun bermimpi besar: “Sepakbola itu tak bisa diprediksi, tapi menurut saya dia bisa melangkah sangat, sangat jauh. Dia monster dalam bertahan, dan sekarang benar-benar mulai menunjukkan jati dirinya.”






