Fenomena kecenderungan menghakimi rekan kerja di lingkungan kantor menjadi sorotan. Syarif Yunus, seorang pengamat dan penulis, menyoroti bagaimana banyak pekerja kantoran kerap menunjukkan sikap ‘sok tahu’ dan mudah berprasangka terhadap sesama kolega. Ia mempertanyakan profesionalisme dan tingkat pendidikan yang seringkali tidak seiring dengan perilaku tersebut, seolah-olah apa yang ada di pikiran mereka selalu benar.
Menurut Syarif Yunus, kecenderungan ini sering terlihat dalam berbagai situasi. Misalnya, ketika seorang rekan kerja pulang tepat waktu, ia kerap dicap tidak loyal atau sok sibuk di rumah. Padahal, bisa jadi rekan tersebut memiliki pekerjaan sampingan sebagai pengemudi ojek daring di malam hari demi membantu perekonomian keluarga.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Contoh lain adalah penilaian terhadap gaya berpakaian. Rekan kerja yang tampil sederhana dan sering mengenakan pakaian yang sama, tak jarang dianggap tidak memiliki cukup uang atau kurang niat bekerja. Padahal, di balik kesederhanaannya, ia mungkin sedang menabung untuk mengajak anak istrinya berlibur di akhir tahun.
Syarif Yunus juga mengamati bahwa rekan yang tidak ikut berkumpul sering disebut sombong atau penyendiri. Bahkan, kemampuan seseorang untuk membeli jajanan mahal pun bisa menjadi bahan gunjingan, dicap sebagai orang kaya. “Kira-kira begitulah orang kantoran,” tulis Syarif Yunus, menggambarkan betapa mudahnya asumsi dan prasangka terbentuk di lingkungan kerja.
Hilangnya Konteks dan Dampak Negatif
Permasalahan utama, menurut Syarif Yunus, adalah hilangnya konteks. Pekerja kantoran sering kali terlalu mudah berasumsi dan berprasangka, sehingga gampang menghakimi orang lain. Mereka lupa bahwa banyak cerita di balik kehidupan rekan kerja yang tidak mereka ketahui. “Banyak orang kantoran lupa, mereka itu nggak tahu banyak cerita di balik hidup orang lain. Itulah sebab orang kantoran jadi sok tahu,” tegasnya.
Apa sebenarnya yang diketahui pekerja kantoran tentang rekan mereka? Syarif Yunus menyebutkan bahwa informasi yang umumnya diketahui hanyalah jam datang, jam pulang, jam makan siang, cara bekerja, dan cara berpakaian. Di luar itu, banyak hal penting yang luput dari perhatian.
Pekerja kantoran, lanjutnya, sering tidak mengetahui tanggung jawab rekan di rumah, perjuangan mereka setelah jam kerja, kondisi ekonomi, bahkan beban pikiran dan mental yang sedang dihadapi. “Jadi sederhananya saja, orang kantoran nggak usah sok tahu. Memangnya kita siapa? Ngasih makan nggak, nyekolahin nggak. Tapi giliran ngomong, seenak udelnya aja,” kritiknya.
Lingkungan Kerja Toksik dan Pentingnya Profesionalisme
Sikap ‘sok tahu’ dan menghakimi ini dapat menciptakan lingkungan kerja yang toksik. Syarif Yunus mengungkapkan bahwa tidak sedikit orang yang mengundurkan diri dari pekerjaannya bukan karena kinerja atau beban kerja yang berat, melainkan karena lingkungan kantor yang tidak sehat akibat teman kerja yang “racun”. Ego dan prasangka sering membabi buta, dan ketika dikoreksi, mereka cenderung ngeyel atau bersikap arogan dan subjektif.
Oleh karena itu, Syarif Yunus menyampaikan pesan sederhana: jika bekerja di tempat yang baik, kantor yang mentereng, apalagi dengan posisi yang strategis, pekerja kantoran tidak perlu bersikap ‘sok tahu’. “Jangan banyak komentar tentang teman kerja atau orang lain. Berhenti gosip, apalagi gibah. Nggak usah menyangka orang lain, beginilah begitulah,” pesannya.
Profesionalisme sejati, menurutnya, bukanlah tentang mudah menilai orang lain atau banyak bicara dengan sedikit pengetahuan. Profesional adalah mereka yang tetap hormat meskipun tidak tahu banyak, dan tetap saling menghargai meskipun tidak mengetahui cerita lengkapnya. “Kita semua datang ke kantor dengan alasan yang berbeda. Motif kerjanya pun beda-beda. Tapi ada satu hal sama, bahwa semuanya yang di kantor sedang berjuang untuk dirinya sendiri dan orang-orang tercintanya di rumah,” pungkas Syarif Yunus.
Ia menekankan bahwa setiap individu sedang berjuang untuk hidupnya masing-masing, bukan untuk menilai orang lain. “Masih sama-sama kerja saja banyak omong dan sok tahu, apalagi jadi pengusaha?” sindirnya. Oleh karena itu, ia mengajak pekerja kantoran untuk tidak menghakimi orang lain, karena ketidaktahuan akan kondisi dan perjuangan hidup rekan kerja.






