Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN), Eddy Soeparno, mengingatkan pentingnya penguatan kebijakan untuk mencegah dampak perubahan iklim. Menyambut tahun 2026, Eddy menegaskan bahwa tahun tersebut harus menjadi momentum krusial bagi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim di Indonesia.
Eddy menyoroti berbagai indikator yang menunjukkan urgensi langkah ini. “Peningkatan emisi gas rumah kaca, degradasi kualitas udara, serta meningkatnya intensitas bencana hidrometeorologis menunjukkan bahwa Indonesia membutuhkan kerangka hukum yang kuat dan terintegrasi untuk menghadapi dampak perubahan iklim,” kata Eddy dalam keterangannya pada Rabu (31/12/2025).
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Urgensi RUU Pengelolaan Perubahan Iklim
Menurut Eddy, tahun 2026 harus menjadi titik balik kebijakan nasional dengan menempatkannya sebagai tahun mitigasi perubahan iklim yang ditopang oleh penguatan regulasi. Salah satu upaya utama yang terus diperjuangkan adalah percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengelolaan Perubahan Iklim.
“Dalam hal ini yang terus kami perjuangkan adalah percepatan pembahasan Rancangan Undang-Undang Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai payung hukum utama bagi agenda mitigasi dan adaptasi di Indonesia,” tuturnya.
Dalam konteks mitigasi, Eddy menekankan bahwa dominannya penggunaan energi fosil masih menjadi hambatan signifikan dalam upaya penurunan emisi. Kondisi ini berpotensi meningkatkan eskalasi risiko iklim di masa mendatang. Oleh karena itu, target bauran energi terbarukan yang saat ini berada di angka 14-15 persen perlu dipacu lebih kencang lagi.
Hal ini sejalan dengan agenda Presiden Prabowo yang menargetkan Indonesia mencapai net zero emission sebelum tahun 2060. “Komitmen dan semangat besar Presiden perlu diterjemahkan dalam bentuk kebijakan yang kohesif, perumusan regulasi dan penguatan kelembagaan untuk mempercepat transisi menuju energi terbarukan,” jelas Eddy.
Integrasi Kebijakan Lintas Sektor
Sejalan dengan itu, Eddy juga menekankan urgensi percepatan pengesahan RUU Pengelolaan Perubahan Iklim sebagai instrumen kunci untuk mengintegrasikan agenda mitigasi dan adaptasi secara nasional. Selama ini, kebijakan iklim Indonesia masih tersebar dalam berbagai regulasi sektoral yang belum sepenuhnya terkoordinasi.
“Keberadaaan RUU tersebut diharapkan menjadi payung hukum yang menyatukan perencanaan, pelaksanaan, pendanaan, serta mekanisme evaluasi kebijakan perubahan iklim lintas sektor dan lintas tingkat pemerintahan,” paparnya.
Wakil Ketua Umum PAN ini menambahkan, keberadaan Undang-Undang khusus perubahan iklim akan memberikan kepastian arah kebijakan jangka panjang mitigasi iklim. Hal ini juga mampu memperkuat akuntabilitas negara dalam memenuhi komitmen penurunan emisi.
“Substansi RUU ini juga berupaya memastikan bahwa agenda adaptasi seperti perlindungan kelompok rentan, ketahanan wilayah, dan penguatan kapasitas daerah bisa diimplementasikan,” ungkapnya.
Eddy bersyukur bahwa pada tahun 2025, pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 109 dan Perpres Nomor 110 Tahun 2025. Kedua Perpres ini menjadi landasan hukum penting untuk mengatasi dampak krisis iklim. “Berkaitan dengan hal itu maka UU Pengelolaan Perubahan Iklim akan menjadi landasan kuat bagi negara untuk mencegah krisis iklim dan apalagi bencana iklim,” pungkas Eddy.






