Masa depan gelandang muda Kobbie Mainoo di Manchester United kembali menjadi sorotan menjelang jendela transfer Januari 2026. Meski pelatih Ruben Amorim sempat menekankan akan mempertahankan Mainoo usai laga melawan Aston Villa pada pekan ke-17 English Premier League (EPL) 2025/2026, kesempatan bermain yang diberikan justru menjadi paradoks dari pernyataannya.
Pernyataan Amorim yang menyebut Mainoo sebagai masa depan klub terdengar kontras dengan realitas di lapangan. Sepanjang paruh musim ini, Mainoo lebih sering mengawali pertandingan dari bangku cadangan atau bahkan sekadar menjadi penonton. Situasi ini menempatkan Mainoo di persimpangan krusial antara harapan jangka panjang dan kebutuhan instan tim.
Dapatkan berita menarik lainnya di mureks.co.id.
Ikon Regenerasi yang Kini Tersisih dari Sistem Permainan
Musim lalu, Kobbie Mainoo dianggap sebagai simbol kebangkitan generasi muda Manchester United. Ia menjadi starter pada final Euro 2024 bersama Inggris, mencetak gol penting di laga-laga besar, serta tampil matang melampaui usianya. Penampilan cemerlangnya seolah menjadi asa baru di tengah hasil buruk yang diraih MU saat era Erik Ten Hag.
Namun, musim 2025/2026 menghadirkan realitas yang jauh berbeda. Di bawah kepemimpinan Ruben Amorim, Mainoo belum sekali pun menjadi starter di Premier League dan hanya mencatat 171 menit bermain dari bangku cadangan per pekan ke-18. Satu-satunya laga yang ia mulai sebagai starter awal terjadi di Carabao Cup melawan Grimsby Town, sebelum cedera kembali memutus momentum yang baru tumbuh.
Minimnya menit bermain itu membentuk pertentangan psikologis bagi pemain berusia 20 tahun tersebut. Mainoo diposisikan sebagai penerus, tetapi terus-menerus diperlakukan sebagai opsi darurat. Dalam konteks perkembangan pemain muda, stagnasi seperti ini berisiko menggerus kepercayaan diri sekaligus ritme kompetitifnya.
Tekanan eksternal pun ikut memperkeruh situasi. Pada laga melawan AFC Bournemouth, kakak kandung Mainoo, Jordan Mainoo, hadir di Old Trafford dengan mengenakan kaus bertuliskan “Free Kobbie Mainoo”. Sementara itu, wacana peminjaman atau kepergian sementara kian menguat di ruang publik. Narasi ini memperlihatkan, persoalan Mainoo telah bergeser dari isu performa individu menjadi cerminan perubahan struktur dan kebutuhan tim pada era Amorim.
Bukan Kualitas, Melainkan Ketidaksesuaian Profil dengan Skema Amorim
Ruben Amorim membangun Manchester United dengan pendekatan yang mengutamakan sistem secara konsisten. Skema 3-4-3 atau 3-4-2-1 menuntut dua gelandang yang mampu bermain vertikal, agresif, dan dinamis dalam ruang sempit. Dalam struktur ini, lini tengah bukan sekadar pengendali tempo, melainkan mesin transisi cepat.
Namun, karakter permainan Kobbie Mainoo justru bergerak di spektrum yang berbeda. Ia unggul dalam ball retention, kontrol tempo, serta progresi bertahap melalui carry dan kombinasi pendek. Mainoo nyaman meredam permainan, membaca ruang, dan menjaga kesinambungan sirkulasi bola. Profil tersebut membuatnya lebih menyerupai pengendali permainan ketimbang pemecah ritme.
Benturan muncul ketika Mainoo diproyeksikan sebagai number 8 dalam double pivot. Peran ini menuntut jangkauan area luas, intensitas box-to-box, serta duel fisik yang konstan, sesuatu yang belum sepenuhnya menjadi kekuatan Mainoo. Di sisi lain, jika ditempatkan sebagai number 6, ia dituntut menjadi poros permainan dan jangkar yang disiplin, peran yang oleh Amorim dinilai belum konsisten dalam permainannya.
Sebaliknya, Bruno Fernandes, Manuel Ugarte, dan Casemiro lebih sesuai dengan kebutuhan sistem tersebut. Fernandes mengandalkan direct passing, tempo tinggi, dan keberanian mengambil risiko vertikal, sementara Casemiro dan Ugarte menawarkan agresivitas serta kapasitas bertahan yang jelas. Dalam konteks ini, ketidakcocokan Mainoo bukan soal kualitas, melainkan ketidaksinkronan antara konsep pelatih dan profil pemain.
Peluang dan Dilema Masa Depan Kobbie Mainoo
Dengan kondisi skuad yang tergerus cedera dan absennya beberapa pemain yang mentas di Piala Afrika (AFCON) 2026, opsi bertahan masih terbuka bagi Kobbie Mainoo. Amorim menegaskan, peluang selalu ada jika situasi berubah, baik melalui rotasi maupun kebutuhan taktis mendadak. Namun, pernyataan tersebut sejauh ini belum sepenuhnya terwujud dalam bentuk menit bermain nyata.
Alternatif lain adalah peminjaman kepada klub lain, opsi yang sebelumnya diminati Mainoo demi menjaga kontinuitas bermain. Klub-klub seperti Napoli dan Chelsea disebut tertarik dengan peran sentral yang mungkin sulit ia dapatkan di Manchester United saat ini. Bagi pemain seusianya, jam terbang reguler sering kali lebih bernilai dibanding status simbolis.
Jika Mainoo mau lebih bersabar, peluang menit bermain tetap terbuka seiring absennya Bruno Fernandes karena cedera. Meski Mainoo bukan pengganti langsung Fernandes, ia lebih ideal dalam sistem tiga gelandang sebagai pemicu perubahan struktur permainan. Akan tetapi, apabila Amorim tetap kukuh dengan sistem yang digunakan saat ini, Mainoo akan terus dipaksa beradaptasi di luar kemampuannya. Namun, ketika struktur tim bergeser, ia justru tampil sebagai solusi yang paling logis.
Jika kesabarannya tak berbuah manis, risiko terbesar justru muncul ketika stagnasi itu terus berlanjut. Di usia krusial perkembangan, kehilangan momentum dapat menghambat transisi Mainoo dari prospek menjadi pemain mapan. Lebih jauh lagi, situasi ini makin membuka buruknya sistem akademi Manchester United dalam memberikan kesempatan dan kepercayaan kepada produk akademinya sendiri.
Pada akhirnya, masa depan Kobbie Mainoo menjadi cermin dilema struktural Manchester United pada era Ruben Amorim. Pertanyaannya bukan hanya ke mana Mainoo akan melangkah, melainkan apakah klub ini siap menyesuaikan sistem demi masa depan yang selama ini mereka banggakan.






