Pelaksanaan khitan atau sunat pada anak merupakan salah satu pembahasan krusial dalam tradisi keislaman. Praktik ini tidak hanya berkaitan dengan aspek kesehatan, tetapi juga menjadi bagian integral dari sunnah Nabi Muhammad SAW serta kesiapan fisik dan psikologis anak.
Dalam Islam, khitan dipahami sebagai bagian dari fitrah manusia. Pentingnya sunat ini ditegaskan dalam berbagai dalil, termasuk hadits Nabi Muhammad SAW yang menyebutkan lima perkara fitrah, di mana khitan termasuk di dalamnya.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
Dalil tentang Sunat dalam Islam
Dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda:
“الْفِطْرَةُ خَمْسٌ أَوْ خَمْسٌ مِنَ الْفِطْرَةِ الْخِتَانُ وَالاسْتِحْدَادُ وَتَقْلِيمُ الْأَطْفَارِ وَنَتْفُ الإِبْطِ وَقَصُّ الشَّارِبِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ”
“Fitrah itu ada lima atau ada lima fitrah-yaitu: khitan, mencukur rambut kemaluan, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, dan mencukur kumis.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Meskipun Al-Qur’an tidak secara eksplisit menyebutkan sunat, para ulama menjadikan konsep mengikuti agama Nabi Ibrahim AS sebagai hanif, yang termaktub dalam Surah An-Nahl ayat 123, sebagai landasan praktik sunat. Hal ini dipandang sebagai bagian dari ajaran tauhid dan fitrah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah An-Nahl ayat 123:
“ثُمَّ اَوْحَيْنَآ اِلَيْكَ اَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ اِبْرٰهِيْمَ حَنِيْفًا ۗوَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ”
Latin: Ṡumma auḥainā ilaika anittabi’ millata ibrāhīma ḥanīfā(n), wa mā kāna minal-musyrikīn(a).
Artinya: “Kemudian, Kami wahyukan kepadamu (Nabi Muhammad), ‘Ikutilah agama Ibrahim sebagai (sosok) yang hanif dan tidak termasuk orang-orang musyrik.'” (An-Naḥl: 123)
Berdasarkan Tafsir Kementerian Agama Republik Indonesia, ayat tersebut menegaskan kesinambungan ajaran Nabi Ibrahim AS dengan risalah Nabi Muhammad SAW. Sejumlah syariat Nabi Ibrahim, termasuk sunat, dianggap tetap berlaku dalam Islam. Karena tidak ada dalil yang menghapus syariat ini, sebagian ulama menetapkan sunat sebagai kewajiban.
Waktu yang Tepat Anak untuk Disunat
Mengenai waktu pelaksanaan sunat, para ulama memiliki pandangan yang beragam. DR. KH. M. Hamdan Rasyid, MA dan Saiful Hadi El-Sutha dalam buku Panduan Muslim Sehari-hari, menjelaskan perbedaan pendapat ini.
Di kalangan mazhab Syafi’i, dikenal dua kategori waktu pelaksanaan sunat: waktu wajib dan waktu istihbab (sunnah). Waktu wajib ditetapkan ketika anak telah memasuki masa baligh, sementara waktu yang disunnahkan dimulai sejak anak masih kecil.
Waktu paling utama untuk menyunat anak adalah pada hari ketujuh setelah kelahiran, merujuk pada riwayat bahwa Rasulullah SAW menyunat Hasan dan Husain pada hari ketujuh. Apabila tidak memungkinkan, sunat dapat dilakukan pada hari keempat puluh, atau ditunda hingga anak berusia tujuh tahun. Jika hingga dewasa seseorang belum disunat, kewajiban tersebut menjadi tanggung jawab dirinya sendiri.
Pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah dan Pondok Pesantren Al-Bahjah Cirebon, Buya Yahya (Yahya Zainul Ma’arif), juga memberikan penjelasan mengenai ketentuan hukum dan waktu pelaksanaan sunat menurut mazhab Syafi’i. Buya Yahya menegaskan bahwa tidak ada ketentuan usia mutlak dalam pelaksanaan sunat, melainkan disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi bayi.
“Tidak ada umur yang tertentu, sesuai dengan kemampuan seorang bayi untuk dikhitan. Hanya umumnya itu 7 hari sudah kuat dan itu baik sekali, dan semakin kecil bayi itu dikhitan, maka semakin tidak terasa karena belum punya gerakan-gerakan yang banyak. Biasanya umur 7 hari sampai 20 hari dan seterusnya, semakin kecil, nah bayi itu adalah bayi laki-laki,” terang Buya Yahya, dikutip pada Selasa (30/12/2025).
Perbedaan Waktu Ideal Sunat pada Anak Laki-laki dan Perempuan
Buya Yahya lebih lanjut menjelaskan perbedaan signifikan antara sunat pada anak laki-laki dan perempuan.
Untuk anak laki-laki, kewajiban sunat bersifat jelas karena berkaitan langsung dengan kebersihan organ kelamin, sehingga pelaksanaannya dapat dilakukan sejak usia dini, termasuk pada masa bayi. Buya Yahya menekankan bahwa semakin kecil usia bayi laki-laki disunat, semakin baik dan sehat.
“Jadi umurnya disesuaikan, tapi semakin kecil semakin bagus dan semakin sehat untuk kaum laki-laki, supaya tidak ada kotoran di dalamnya sehat bersih,” jelas Buya Yahya.
Adapun sunat bagi anak perempuan memerlukan kehati-hatian yang lebih tinggi. Buya Yahya berpendapat, pelaksanaan khitan pada anak perempuan bergantung pada kondisi fisik anak dan harus dilakukan oleh pihak yang memahami batasan syariat. Sunat hanya dilakukan apabila bagian yang diperbolehkan secara syar’i telah terlihat. Jika belum tampak, tindakan tersebut tidak dianjurkan karena dikhawatirkan menimbulkan mudarat di kemudian hari. Oleh sebab itu, waktu pelaksanaan sunat pada anak perempuan disesuaikan dengan perkembangan fisik masing-masing anak.






