Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menekankan pentingnya pembangunan sistem pendidikan nasional yang berakar pada nilai cinta, Pancasila, dan karakter keindonesiaan. Pernyataan ini disampaikan sebagai langkah awal dari perjalanan panjang pembaruan pendidikan di Indonesia.
“Alhamdulillah hari ini kita melakukan suatu kegiatan yang sangat penting. Ini adalah awal dari sebuah perjalanan panjang ke depan, untuk membangun konsep pendidikan berbasis cinta, pendidikan Pancasila, dan pendidikan yang benar-benar relevan dengan Indonesia,” ujar Nasaruddin Umar dalam acara Review and Design on Islamic Educational Ditjen Pendis Kemenag, Selasa (30/12/2025) di Jakarta.
Klik mureks.co.id untuk tahu artikel menarik lainnya!
Nasaruddin menegaskan bahwa Kementerian Agama memikul tanggung jawab besar dalam melahirkan konsep pendidikan yang komprehensif. Menurutnya, pendidikan tidak cukup hanya maju secara teknologi, tetapi juga harus memiliki fondasi keyakinan keagamaan dan nilai moral yang kuat.
“Tidak bisa kita memisahkan antara dunia pendidikan, teknologi, dan agama. Apalagi Indonesia adalah negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sila pertama Pancasila,” tegasnya.
Menag juga menyoroti tantangan masa depan bangsa Indonesia yang bersifat plural. Oleh karena itu, Indonesia membutuhkan kurikulum dan sistem pendidikan yang khas, yang lahir dari filosofi bangsa sendiri, bukan sekadar meniru model pendidikan negara lain.
“Kita tidak boleh meng-copy sistem pendidikan dari negara lain yang tidak paralel dengan filosofi bangsa kita. Indonesia punya jati diri, maka harus memiliki model dan destinasi sistem pendidikan sendiri,” jelasnya.
Dalam konteks tersebut, Nasaruddin menilai sistem pendidikan pondok pesantren sebagai salah satu model ideal yang telah lama dimiliki Indonesia. Menurutnya, pesantren mampu mengembangkan pemikiran personal sekaligus menjaga religiositas peserta didik.
“Pondok pesantren itu luar biasa. Di sana, pengembangan intelektual berjalan seiring dengan penguatan nilai-nilai keagamaan,” katanya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa seluruh agama pada dasarnya membutuhkan pendekatan pendidikan yang seimbang antara sains dan agama. Keduanya tidak boleh dipertentangkan, melainkan harus berjalan paralel.
“Tidak boleh agama ditinggalkan demi sains, dan tidak boleh juga religiusitas berjalan tanpa memperhatikan riset, sains, dan teknologi. Dua-duanya harus seimbang dan saling menguatkan,” tutupnya.






