JAKARTA – Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) kembali menyuarakan kekhawatiran mendalam terkait maraknya praktik penipuan digital seperti scam, phishing, dan fraud yang kini menjadi ancaman serius bagi masyarakat Indonesia. Modus kejahatan yang semakin canggih, terstruktur, dan lintas negara ini tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi yang besar, tetapi juga mengikis rasa aman konsumen dalam bertransaksi di ruang digital.
Peningkatan Pengaduan dan Modus Kejahatan yang Kian Kompleks
Wakil Ketua Komisi Pengaduan dan Advokasi BPKN, Intan Nur Rahmawanti, mengungkapkan bahwa lembaga tersebut mencatat peningkatan signifikan pengaduan konsumen terkait penipuan digital dalam beberapa tahun terakhir. Sektor yang paling banyak terdampak meliputi jasa keuangan, perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), telekomunikasi, dan layanan berbasis platform.
Pantau terus artikel terbaru dan terupdate hanya di mureks.co.id!
“Kami melihat pola penipuan digital yang semakin kompleks. Tidak lagi sederhana, tetapi melibatkan rekayasa sosial, penyalahgunaan data pribadi, pemalsuan identitas institusi resmi hingga manipulasi sistem pembayaran. Konsumen sering kali menjadi korban tanpa perlindungan yang memadai,” kata Intan pada Sabtu (27/12).
BPKN mengidentifikasi bahwa praktik phishing sering kali menyasar konsumen melalui pesan singkat, aplikasi perpesanan instan, media sosial, hingga email spoofing. Pelaku kerap mengatasnamakan bank, perusahaan logistik, platform e-commerce, bahkan lembaga negara. Sementara itu, fraud digital berkembang melalui investasi bodong, pinjaman online ilegal, fake marketplace, hingga penyalahgunaan dompet digital.
Dampak Kerugian Konsumen dan Sistemik yang Mengkhawatirkan
Menurut BPKN, dampak penipuan digital tidak hanya merugikan konsumen secara individual, tetapi juga berpotensi mengganggu kepercayaan publik terhadap sistem ekonomi digital nasional. Kerugian yang dialami konsumen tidak jarang mencapai ratusan juta rupiah per kasus, dengan proses pemulihan hak yang panjang dan tidak pasti.
Konsumen seringkali berada pada posisi yang lemah karena keterbatasan regulasi, lemahnya koordinasi antar instansi, serta belum adanya satu otoritas nasional yang memiliki kewenangan kuat untuk mengkoordinasikan perlindungan konsumen lintas sektor.
“Masalahnya bukan semata pada pelaku kejahatan, tetapi pada sistem perlindungan konsumen yang belum cukup kuat untuk menjawab tantangan era digital. Regulasi kita masih parsial, kewenangan tersebar, dan penanganan sering kali tidak terintegrasi,” tegas Intan.
RUU Perlindungan Konsumen Mendesak Disahkan
Dalam menghadapi tantangan ini, BPKN menegaskan pentingnya percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (RUUPK) yang baru. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 dinilai sudah tidak lagi memadai untuk menjawab dinamika transaksi digital, ekonomi platform, dan kejahatan siber yang semakin canggih.
RUUPK diharapkan dapat memperkuat perlindungan konsumen melalui pengaturan yang lebih tegas, termasuk kewajiban pelaku usaha digital, mekanisme pencegahan scam dan fraud, perlindungan data konsumen, serta sistem penegakan hukum yang lebih efektif.
“RUU Perlindungan Konsumen harus hadir sebagai jawaban atas kegelisahan publik. Konsumen tidak boleh terus-menerus menjadi korban, sementara negara tertinggal dalam memberikan perlindungan yang tegas dan adaptif,” tutur Intan.
Penguatan Kelembagaan BPKN Dinilai Strategis
Selain penguatan regulasi, BPKN juga menekankan bahwa penguatan kelembagaan sangat diperlukan. Untuk menghadapi scam, phishing, dan fraud digital yang bersifat lintas sektor dan lintas yurisdiksi, Indonesia membutuhkan satu otoritas nasional yang kuat sebagai pengampu utama perlindungan konsumen.
BPKN menilai bahwa ke depan, peran BPKN perlu ditransformasikan menjadi kementerian atau koordinator nasional perlindungan konsumen. Hal ini bertujuan agar BPKN mampu mengkoordinasikan kementerian/lembaga teknis, pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta platform digital secara terintegrasi.






