Lebih dari 60 mahasiswa perantau asal Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatera Utara di Kota Semarang kini menghadapi dilema pelik. Bencana banjir yang melanda kampung halaman mereka di Sumatera tak hanya merenggut ketenangan keluarga, tetapi juga mengganggu kemampuan finansial para mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan hidup di perantauan.
Kondisi ini membuat para mahasiswa kesulitan membayar biaya kos dan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Novaldi Akbar Anugerah, mahasiswa semester 3 UIN Walisongo yang berasal dari Sumatera Utara, mengungkapkan keprihatinan mendalam atas nasib rekan-rekannya.
“Akses jalan di kampung masih banyak yang terblokir, banyak yang belum dapat bantuan banyak yang kelaparan,” ujar Novaldi kepada Kompas.com, Senin (8/12/2025). Ia menambahkan, meskipun keluarganya selamat, kekhawatiran terhadap sanak saudara yang terdampak banjir masih menghantui.
Situasi ini menambah beban psikologis dan finansial yang signifikan bagi mahasiswa perantau. “Banyak teman di sini kesulitan bayar kos, makan, bahkan komunikasi sama keluarga susah,” tuturnya.
Posko Bantuan Belum Sepenuhnya Membantu
Data sementara dari posko bantuan mahasiswa Aceh dan Sumatera di Tembalang menunjukkan sekitar 60 hingga 70 mahasiswa terdampak langsung, meski jumlah sebenarnya diperkirakan lebih besar. Para mahasiswa mengaku kesulitan memenuhi kebutuhan dasar seperti biaya kos, makan, hingga biaya perkuliahan.
Dukungan finansial dari keluarga di kampung terhenti akibat usaha yang terdampak bencana, terputusnya akses jalan, dan hilangnya sumber penghasilan warga. Menanggapi kondisi ini, sejumlah organisasi mahasiswa telah mendirikan posko bantuan di asrama mahasiswa Aceh–Sumatra di Tembalang. Posko tersebut menyalurkan bantuan berupa beras, mi instan, dan bahan pokok lainnya.
Namun, bantuan yang diberikan dinilai masih belum mencukupi kebutuhan para mahasiswa. Beberapa di antaranya menyatakan kekhawatiran studi mereka akan terhambat jika kondisi ini berlanjut. “Kami berharap pemerintah segera tanggap banyak di antara kami yang kesulitan, bukan karena malas, tapi karena keadaan darurat di kampung dan di kota,” harap Novaldi.
Kecemasan Terputusnya Kontak Keluarga
Malika Radyana, Anggota Divisi Kaderisasi HIMSU UIN Walisongo Semarang, turut merasakan kecemasan yang sama. Ia sempat mengalami terputusnya komunikasi dengan neneknya saat banjir dan longsor melanda kampung halaman sang nenek.
“Saya sampai tak bisa tidur, Alhamdulillah sekarang sudah berhasil dievakuasi,” ungkap Malika, menceritakan pengalamannya yang penuh kekhawatiran. Mahasiswa asal Aceh, Sumatra Barat, dan Sumatera Utara yang kini berada di Semarang sangat berharap bantuan dapat segera diperluas. Mereka ingin dapat bertahan di perantauan sambil menanti pemulihan kondisi kampung halaman mereka.






