Kupang, Nusa Tenggara Timur – Di tengah keberagaman agama yang ada di Sekolah Rakyat Menengah Pertama (SRMP) 19 Kupang, seorang siswi bernama Anisa Saharia merasakan langsung indahnya kerukunan dan dialog lintas agama. Gadis berusia 15 tahun ini merupakan satu-satunya siswa beragama Islam di antara 100 siswa di sekolah tersebut.
Keberagaman di SRMP 19 Kupang
SRMP 19 Kupang saat ini menaungi 100 siswa, terdiri dari 55 laki-laki dan 45 perempuan. Mayoritas siswa beragama Protestan (86 orang), diikuti Katolik (13 orang), dan Anisa sebagai satu-satunya Muslim. Proses belajar mengajar didukung oleh 11 guru, 4 wali asrama, dan 9 wali asuh yang senantiasa mendampingi keseharian para siswa.
Perbedaan latar belakang agama justru menjadi perekat untuk saling peduli, bukan menciptakan jarak. Hal ini tercermin dalam keseharian Anisa di sekolah.
Perhatian Tulus dari Teman dan Guru
Ketika azan berkumandang dari mushola sekolah, teman-teman Anisa selalu mengingatkan dan memberikan perhatian. Suasana kelas pun seketika hening saat waktu salat tiba.
“Kalau azan, mereka berhenti belajar. Kayak ada sementara catat dengar azan, guru bilang berhenti dulu soalnya sedang azan,” jelas Anisa, dalam keterangan tertulis, Senin (15/12/2025).
Anisa juga mendapat bimbingan dari seorang guru agama Islam yang datang setiap Jumat. “Jangan sedih meski kamu di sini sendiri sebagai Muslim,” pesan sang guru kepada Anisa. Perhatian penuh juga diberikan oleh kepala sekolah yang meminta Anisa tetap mengenakan jilbab.
“Kata Ibu Kepsek, walau sendiri tetap berjilbab,” ujarnya mantap.
Harapan Pendidikan dan Keluarga Baru
Selain taat beribadah, Anisa dikenal sebagai siswa yang giat belajar. Ia berharap dapat melanjutkan kuliah, sebuah pencapaian yang belum pernah diraih oleh kakak-kakaknya.
Di SRMP 19 Kupang, Anisa menemukan lebih dari sekadar ilmu. Ia menemukan keluarga baru. Teman-teman dari berbagai latar belakang agama dan budaya menjadi saudara yang saling mendukung dalam aktivitas belajar, makan, hingga berdoa bersama. Tidak ada yang menyinggung perbedaan, yang ada hanyalah kebersamaan.
Titik Balik Kehidupan Anisa
Anisa, anak ketujuh dari delapan bersaudara, sebelum masuk sekolah rakyat, mengisi kesehariannya dengan merawat keponakan, memasak, mencuci, hingga menimbang besi bekas untuk dijual. “Per kilo Rp 3.000, kalau yang seng Rp 1.000,” jelas Anisa.
Ayahnya meninggal saat Anisa berusia empat tahun. Ibunya kemudian pergi ke Pulau Kalimantan tanpa kabar saat Anisa duduk di bangku kelas tiga SD. Sejak itu, Anisa hidup dalam keterbatasan di rumah kontrakan sederhana di Desa Oeteta, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang. Untuk berangkat sekolah, ia harus berjalan kaki tanpa sepeda, seringkali tanpa sarapan dan makan siang.
Titik balik hidupnya terjadi ketika ia mendapat kabar gembira untuk melanjutkan pendidikan di Sekolah Rakyat yang diinisiasi oleh Presiden RI Prabowo Subianto melalui Kementerian Sosial RI (Kemensos) untuk anak-anak dari keluarga miskin.
“Alhamdulillah. Jadi senang karena saya tidak (menjadi) beban di kakak begitu,” kata Anisa.
Kehidupannya berubah drastis. Ia tak lagi harus bekerja sepulang sekolah. “Di sini cuma makan, tidur, sehabis itu belajar. Kalau di rumah harus bekerja,” ujar Anisa.
Ia bersyukur kini bisa tidur di kasur empuk, makan teratur, memiliki seragam sekolah dan sepatu baru. Menu sederhana nan bergizi yang tersaji tiap hari di asrama sekolah rakyat baginya terasa istimewa.
“Terima kasih ada Sekolah Rakyat untuk beta. Beta harap Sekolah Rakyat terus ada,” kata Anisa.
Di bawah langit panas Kupang, kisah Anisa menjadi cermin kecil tentang makna sejati Indonesia, di mana iman tumbuh berdampingan dengan kasih, dan pendidikan menjadi jalan pasti untuk mengubah nasib menuju masa depan yang lebih baik.






